Meja Kayu Jati, Sekedar Meja? Sekedar Jati?

Sebelum membaca, mungkin perlu nonton barang sejenak dua jenak. 


Terima kasih, mari kita mulai...

Begini, kawan...

Tua memang tidak selamanya sakit dan menderita. Namun ia juga berkah. Yang terpenting bagi kita hanyalah persoalan sudut pandang. Persoalan sudut pandang akan membawa kita pada hasil pembacaan berbeda meskipun yang kita baca sama. 

Nampaknya itu yang saya renungkan saat menatap urat-urat kayu di meja jati tua ini. Saat memikirkan rencana penjualannya, pikiran saya bergerak ke sana ke mari. Mengingat-ingat beberapa hal tentang arti tentang ‘tua.’ Jika perlu gambaran, beginilah penampakannya: 



Ada beberapa kutipan menarik yang pernah saya temukan dan mungkin sebagian di antara pembaca. Mungkin juga tulisan ini akan membawa pembaca untuk meloncat-loncat ke sana ke mari. Maafkan saya karena saya memang bukan penulis handal. 

Saya teringat ucapan Arnold Schwazernegger di film Terminator. Kalau tidak salah dia bilang begini

“I am old but not obsolete,”

Begitu katanya sambil menembak terminator lawan dengan teknologi yang lebih mutakhir daripada versi dirinya. Adegan ini cukup epik bagi saya untuk dikenang-kenang.

Maka tua juga gelar bagi mereka yang tidak pernah “obsolete.” Dulu saya pernah mengagumi klub sepakbola asal Italia yang berjuluk La Vecchia Signora, Si Nyonya Tua. Bukan semata sepak bola gembok catenacchio-nya yang memang menjadi ciri khas klub berseragam hitam putih itu, tetapi bagi saya adalah karakter. 

Nyaris tak pernah saya temui sesama pemain yang memprotes temannya. Entah salah umpan atau gagal mencetak skor. Mereka hanya mengacungkan jempol. Kerja bagus, kawan! Atau mungkin maaf, saya akan cetak gol di peluang berikutnya!

Setiap tertinggal angka atau kalah penguasaan bola, saya hampir tidak pernah melihat mereka terserang panik atau grogi. Jam terbang mereka memang tinggi. Tak jadi soal apakah harus berlaga di Seri A atau terperosok ke Seri C, permainan mereka tidak pernah berubah. 

Mereka tetap tenang, dingin, dan seakan penuh perhitungan. Tak jadi soal apakah permainan mereka dicap para komentator main aman, lamban, dan seakan mengandalkan keberuntungan. Apa yang saya coba pelajari dari klub tua dari Turin ini suatu pelajaran berharga, bahwa menjadi tua adalah sikap, bukan semata angka. 

Terkadang saya membayangkan mereka adalah para pemburu tua kawakan: jika anda tenang, maka anda menang. Minimal, memenangkan diri dari gejolak emosi anda.  

Terkadang pula menjadi tua juga keras kepala, seiring tahun demi tahun yang mempertebal pikiran kita. Menolak rapuh meskipun ringkih. Saya menemukannya di novel luar biasa karya Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea.

Cerita di novel itu sederhana saja dengan bahasa yang juga mudah dicerna. Menurut saya, bahkan seakan seluruh panggung milik si lelaki nelayan tua. Berkali-kali diingatkan, diejek, dicemooh, ia abaikan itu semua. Ia tetap melaut untuk mengejar ikan marlin. Dan ia berhasil meskipun dalam perjalanan pulang ke darat ikan tangkapannya terkoyak hiu. 


Berkaca Dari Itu Semua

Persis seperti itu yang saya rasakan saat menjalani hari demi hari, mencoba belajar hal-hal baru tentang meja jati – yang tua itu. Belajar makna dan nilainya. Belajar harga pasar. Belajar dimensinya. Mungkin masih banyak yang harus saya pelajari. Yang jelas, kecil kemungkinan belajar cara membuatnya karena itu butuh keterampilan khusus dan waktu yang khusus pula.   



Meja-meja kayu jati ini memang tua usianya. Anda bisa melihat dari guratan alurnya. Salah seorang ahli ukir dari Jepara mengatakan, bahkan modelnya saja sudah tergolong antik karena mencoba mengikuti bentuk asli dari pohonnya. Karena tergolong antik, jangan berharap bentuknya rata dan datar. Kalau ingin datar, pakai kayu yang biasa saja. Begitu katanya.

Beberapa orang menganggap jangan jual mahal. Jual murah saja pasti laku. Agak bernada pesimis yang bercampur dengan realistis. Saya sempat terjatuh pada titik itu. Saya hampir menyerah. Saya pernah menjualnya dengan harga yang teramat sangat murah. Hasilnya? Masih belum laku. Ingat, belum. Jangan pernah mengatakan tidak, kata Robert Kiyosaki, salah satu motivator favorit saya.  

Coba lihat sekali lagi, haruskah kita jual murah?



Ada juga yang mengatakan, itu kayu lapuk (bongkrek dalam bahasa Jawa) kok dibilang antik? Saya sempat agak tersinggung, tapi beberapa waktu kemudian saya bisa memakluminya. Mungkin saja penjelajahannya belum sampai Pinterest. Sebagian orang memberi saya semangat, baik secara lisan maupun mencoba mengenalkan saya dengan jaringan barunya. Mencoba peluang siapa tahu laku. 

Peluang, betapapun kecilnya haruslah tetap dicoba. Semangat dan tekad kuat saja belum cukup. Pengetahuan dan jam terbang pun sama saja. Saya tidak bisa memastikan, tetapi saya merasa, nanti pada titik tertentu mungkin ada momen balik untuk setiap usaha yang kita lakukan. Bertahan dengan irama konsisten, disiplin, dan juga persisten. Mirip klub bergelar si Nyonya Tua dari Turin itu. 

Lalu, apa pelajaran moral dari itu semua? Pikiran saya tiba-tiba menyala dan seolah berkata kepada diri saya: Tugas kita hanyalah berusaha dan berdoa. Selebihnya, berserahlah kepadaNya. 


Sumber: Blog saya satunya, khusus jejualan. Bolehlah kiranya mampir  ke https://javaneseteaktable.blogspot.com/