Patah Hati, Sunyi, dan Sajak Pablo Neruda




Buat yang optimis, mungkin patah hati terdengar sama dengan ungkapan patah tumbuh hilang berganti. Buat yang pesimis, patah hati berarti akhir dari segala kisah dan sunyi lagi. Buat sebagian lagi, patah hati adalah momentum untuk menghasilkan karya-karya masterpiece. Nah, Sampean pilih yang mana? 

Apapun pilihannya, sampean tidak sendirian karena di Indonesia sendiri banyak makhluk hidup yang setengah mampus merayakan hilangnya kekasih mereka dari genggaman tangan. Dan tentu saja jika bicara di konteks Indonesia, kesedihan pun bisa ditertawakan. Bahkan bisa dibuat goyang. Tanya sana sama penggemar dangdut kalau tidak percaya.
Sampean jangan tanya sama saya, karena saya pernah bernasib seperti itu. Bukannya kepingin curhat, meski sedikit banyak di postingan ini ada unsur curhat-nya. Tapi, dulu, seingat saya, saat patah hati, saya menolak keras untuk membaca status-statusnya Mario Teguh. Serius. Bukannya saya benci sama Pak Em Te, tapi kalimat motivasinya yang katanya sanggup mempengaruhi banyak anak muda, ternyata belum cukup kuat untuk menggelitik kesadaran saya. Terlalu banal, mungkin. Saya lebih memilih membaca sajak-sajak.
Karena bagi saya, patah hati itu tidak cukup diobati oleh kata-kata sejuk seperti bualan para motivator, tetapi butuh semacam katalisator untuk membuatnya bisa memaknai episode kehidupan yang digariskan Tuhan. Barangkali kesannya alay, tidak nyambung, tapi siapa peduli. Namanya juga perasaan…
Dan oleh sebab itu, saya berterima kasih buat salah seorang teman yang “menghadiahi” sajak patah hati-nya Pablo Neruda yang berjudul “Tonight I Can Write.” Plus, saya juga sangat matur sembah nuwun atas terjemahannya yang luar binasa itu.  
Akhirul Kalaam, ini dia sajaknya yang memilukan itu. Selamat menikmati dan seperti kata Chairil Anwar, mampus kau dikoyak-koyak sepi! :    

Tonight I Can Write

Tonight I can write the saddest lines.

Write for examples, “The night is starry
and the stars are blue and shiver in the distance.”

The night wind revolvesin the sky and sings.

Tonight I can write the saddest lines.
I loved her, and sometimes she loved me too.

Through nights like this one I held her in my arms.
I kissed her again and again under the endless sky.

She loved me, and sometimes I loved her too.
How could I not have loved her great still eyes.

Tonight I can write the saddest lines.
To think that I do not have her. To feel that I have lost her.

To hear the immense night, still more immense without her.
And the verse falls to the souls like dew to the pasture.

What does it matter that my love could not keep her.
The night is starry and she is not with me.

This is all. In the distance someone is singing. In the distance.
My soul is not satisfied that it has lost her.

My sight tries to find her as though to bring her closer
My heart looks for her, and she is not with me.

The same night whitening the same trees.
We, of that time, are no longer the same.

I no longer love her, that’s for certain, but how I loved her.
My voice tried to find the wind to touch her hearing.

Another’s. She will be another’s. As she was before my kisses.
Her voice, her bright body. Her infinite eyes.

I am no longer in love with her, that’s certain, but maybe I love her.
Love is so short, forgetting is so long.

Because through nights like this one I held her in my arms
my soul is not satisfied that it has lost her.

Through this be the last pain she makes me suffer
and these the last verses that I write for her.

Begini terjemahannya…

Malam Ini Aku Dapat Menulis

Malam ini, aku dapat menulis baris paling sedih.

Menulis, misalnya, “malam penuh bintang
dan bintang-bintang membiru dan menggigil di kejauhan.”

Angin malam bernyanyi dan berputar di langit.

Malam ini aku dapat menulis baris paling sedih.
Aku mencintainya, dan kadang ia mencintaiku.

Sepanjang malam seperti ini aku memeluknya.
Aku menciumnya berulang-ulang di bawah langit tak berujung.

Ia mencintaiku, dan kadang aku mencintainya.
Bagaimana bisa aku tidak mencintai mata indahnya

Malam ini, aku dapat menulis baris paling sedih.
Untuk berpikir bahwa aku tak memilikinya. Untuk merasakan bahwa aku
sudah kehilangannya.

Untuk mendengar malam yang tak terukur, lebih tak terukur tanpanya.
Dan sajak jatuh pada jiwa seperti embun jatuh pada rumput.

Apa berarti cintaku tak bisa menjaganya.
Malam penuh bintang dan dia tak bersamaku.

Ini semua. Dari kejauhan seseorang bernyanyi. Di kejauhan.
Jiwaku tak senang telah kehilangannya.

Pandanganku mencarinya seolah untuk membawanya makin dekat
Hatiku mencarinya, dan dia tak bersamaku.

Malam yang sama memutihkan pohon yang sama.
Kita, waktu itu, tak lagi yang sama.

Aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi bagaimana aku mencintainya.
Suaraku mencoba menemukan angin untuk menyentuh telinganya.

Milik yang lain. Dia akan jadi milik yang lain. Sebagaimana ia sebelum kucium.
Suaranya, tubuh cemerlangnya. Mata lebarnya.

Aku tak lagi mencintainya, itu pasti, tapi barangkali aku mencintainya.
Cinta sangat singkat, melupakannya begitu lama.

Sebab, melewati malam seperti ini aku memeluknya
Jiwaku tak senang telah kehilangannya

Meskipun ini menjadi luka terakhir ia buat aku menderita
dan inilah sajak terakhir yang kutulis untuknya

 *NB: Saya sediakan juga link-nya..formatnya sih .djvu. aplikasi readernya banyak di mbah google., ketik aja keyword: djvu reader..Klik untuk baca Twenty Love Poems and Songs of Despairs

Komentar