Santai Sambil Belajar Kejawen

Mau jadi dukun? Begitu self-respon yang terpikirkan ketika hendak menelaah beberapa literatur babakan "Kejawen".

Jelas tak ada korelasinya. Hipotesis nol alias tak terbukti. Meskipun kadang kepingin sih. Apalagi dukun sekeren Asakura Yo di anime Shaman King.

Mempelajari Kejawen, sodara, tak akan berujung pada praktik klenik perdukunan. Apalagi tersesat ke jurang kesyirikan. Anggapan-anggapan ini salah bin kaprah. Setidaknya itu bersumber dari apa yang saya baca sekarang.

Begini ceritanya. Curhat sedikit.

Belakangan ini, rak buku saya diterpa gelombang Kejawennya Mbah Ronggowarsito. Dalam waktu berdekatan pula. Sampai-sampai saya merasa ke-GR-an sendiri, "Jangan-jangan saya ini masih berdarah keraton ya. Mengapa Tuhan mengirimkan buku-buku Ronggowarsito ke rak buku saya yang fana ini? Kenapa Tuhan?". Drama.

Maka saya putuskan untuk mencoba belajar Kejawen dari Mbah Ronggowarsito dari beberapa literatur itu. Salah satu penulis yang mencoba menyajikan pemaparannya adalah Darma Sasongko.

Menurut Darma Sasongko, penulis buku luarbiasa Induk Ilmu Kejawen, Kejawen seringkali dicampur adukkan dengan beberapa hal yang kurang tepat, sehingga kesannya serasa tak akrab di hati kita. Wabil khusus, orang Jawa sendiri.

Kejawen itu " produk kreatif" dari para Walisanga, para penyebar Islam di tanah Jawa. Dengan kata lain, ia merupakan Tasawuf Islam yang berkembang di Jawa di era Walisanga, yakni bermula pada abad 15.

Tambahnya lagi, tak ada satupun naskah pra Islam awal yang menyebutkan istilah Kejawen. Istilah Kejawen bermunculan pada masa Majapahit akhir, yaitu sejak era Sunan Ampel hingga kerajaan-kerajaan Islam dari Demak sampai Mataram Islam.

Saya sendiri belum mengecek secara serius, apakah pernyataan itu sekedar main klaim ataukah memang melewati proses riset dengan pembacaan teks-teks sejarah yang cukup komprehensif.

Bagi saya, itu bisa kita cross check nanti. Sebab, orang-orang macam saya butuh banyak menyesap ilmu cita rasa keruhanian. Supaya apa? Ya tentu saja supaya kualitas citarasa spiritualnya mengalami peningkatan. Masa ibadah kok segitu saja sejak dulu?

Begitulah, singkat ceritanya. Adapun untuk mewedar dawuh-dawuhnya Mbah Ronggowarsito ini, saya pribadi belum levelnya. Ya, kita masih tetap butuh Guru Pembimbing untuk mengantarkan kita menuju "citarasa sejati." Adapun buku-buku ini kalau boleh mengibaratkan, hanyalah bekal mentahnya. Perlu renungan dan praktik yang terarah, juga disiplin tertentu lewat petunjuk seorang pembimbing ruhani.

Sepintas mengingatkan kita pada proses bimbingan skripsi. Betul?

Tapi, ya tapi, kalau mau didiskusikan bareng juga boleh. Yuk sini sambi ngopi-ngopi. Syaratnya satu: Jangan bawa mantan! Udah itu aja.

Komentar