Memikirkan Kritik Berjubah Caci Maki

Ada ungkapan lucu yang tersohor di antara para netizen: maha benarlah netizen dengan segala komentarnya.

Benarkah?

Ketika ada suatu isu, komentar terbanyak adalah muatan caci maki. Minimal misuh-misuh. Maksimal? ya jangan dimaksimalkan dong. Diminimalisir saja.

Tentu saja bagi saya persoalannya cukup kompleks alias rumit.

Pertama, bukan pada benar atau tidaknya komentar mereka, tetapi seberapa besar kesadaran untuk menempatkan etika pada saat berkomentar.

Etika, sejak jaman Plato sampai Bude Sumiyati tentu saja fokus lurus pada kebaikan. Apa itu kebaikan? Bukankah kebaikan itu subyektif?

Begini saja untuk lebih mudahnya. Saya pernah membaca (entah di mana, lupa). Kalau kau ingin memahami kebaikan, tanyakan pada hati nuranimu. Jika ia terasa berat dan membebani, jelas itu bukan kebaikan namanya. Masih debatable sih sebenarnya. Minimal, kita punya pedoman lumayan universal.

Kedua, ini ada kaitannya dengan tradisi literasi kita yang masih perlu obat kuat untuk merangsang gairah membaca. Lha bagaimana bisa paham etika kalau tidak pernah membaca? Sementara, suri tauladan yang menjadi panutan di sekitar kita secara perlahan tapi pasti berkurang satu demi satu. Komentar orang yang doyan membaca, akan berbeda dengan yang tidak. Serius ini.

Ketiga, jelas faktor eksternal. Sudah selayaknya kita mendapatkan edukasi tentang bagaimana bermedia yang baik. Artinya, jika anda ingin mengkritik, anda mesti berpikir berkali-kali karena bermedia (sosial) di akhir zaman, anda tidak sendiri. Anda terkoneksi dengan user lainnya. Pesan anda dengan mudah diterima, dibagikan, dan berpotensi menggelindingkan bola salju kontroversi jika anda kurang cermat berkomentar.

Keempat? Jelas kesemua hal yang saya paparkan itu butuh direvisi lagi. Terima kasih.

Komentar