Dari Micin ke Chinmi, Terselamatkan dari Dunia Caci Maki oleh Kungfu Boy

Dalam dua hari terakhir, saya harus mengucapkan terima kasih kepada Takeshi Maekawa dan Ustad Yutub tentu saja. Kenapa begitu?

Sederhana. Sebab, serial Kungfu Boy atau The Iron Fist Chinmi karya Takeshi pada zaman saya masih kejar-kejaran layangan bisa kembali menghibur setelah jarak antara ekspektasi berbanding terbalik dengan realita.

Ceritanya begini. Dua hari lalu, saya tiba-tiba didera rindu mengamati kultwit-kultwit di twitter. Akun twit milik saya masih aktif dan sengaja saya follow beberapa akun yang bagi saya layak difollow karena menghadirkan semacam kegairahan untuk utak atik analisis soksial kembutdayaan.

Bisakah sampeyan bayangkan, alangkah girangnya ketika saya berhasil install kembali aplikasi berlogo manuk emprit itu. Rasanya seperti orangtua yang baru saja ngunduh mantu. Bahagia haru biru.

Baiklah itu agak berlebihan. Tapi sejujurnya twit buat saya adalah sumur info yang disajikan dengan padat, ringkas, dan penuh tantangan karena memaksa user menggubah status sependek 150 kata.

Setelah laman utama terbuka, tiba-tiba saja saya menelan pil pahit kekecewaan. Pada kemana kultwit-kultwit keren dengan analisis komprehansip itu?

Bukannya kultwit yang merangsang sel abu-abu untuk mendaras lagi banyak pelajaran lama, tapi justru lontaran cacimaki dari para netizen yang saya temui. Bahkan, cacimaki itu dipersedap dengan absenan warga kebun binatang sejak huruf A-Z. Saling memicin-micinkan satu sama lain.

Yang lebih parah lagi, ketika memicin-micinkan sosok atau tokoh yang sudah jelas kredibilitas keilmuannya. Tak ada kritik dalam komentar semacam itu. Dengan catatan, kita sama-sama sepakat memaknai kritik adalah dialog yang rasional, dan disertai analisis jernih.

Daripada mbulet dengan micin-micinan, saya pun banting setir ke youtube. Ndilalah kepikiran dengan serial Kungfu Boy. Anime yang pernah saya tonton jaman masih suka main layangan.

Tokoh utamanya, Cinmi, ternyata tak se-micin komentar para netizen kalap di sosmed. Meski dikritik sepedas apapun, dihajar, dan kerap dikalahkan dengan telak oleh lawan-lawannya, matanya masih memandang optimis masa depan. Ia rendah hati. Bakat kungfunya terus diasah tanpa henti. Tekadnya lebih bulat dari tahu bulat yang digoreng dadakan. Kuat amat mental bocah itu.

Bukan hanya itu, aneka teknik kungfu dari aliran kuil Dairin diajarkan secara terbuka dan bahasanya pun sederhana. Andaikata saya dulu tak pernah dilarang ortu untuk belajar silat, sudah tentu saya praktekkan. Sebagaimana kisah-kisah silat, jurus-jurus persilatan selalu bersumber dari olah filsafat tertentu. Tak jarang, si Micin, eh Chinmi harus peras otak sampai meditasi untuk menghayati olah gerak yang merupakan terjemah dari okah filsafat. Karena belum bisa bersilat, saya harus cukup puas bersilat-urahmi filsafatnya saja.

Poin itulah yang saya suka. Mencerdaskan sekaligus menghibur dengan cara mengasyikkan. Bahkan dari hal-hal yang dianggap orang remeh dan main-main, ternyata kita masih bisa belajar.

Baiklah, kapan-kapan kita sambung lagi lewat tulisan selanjutnya. Jangan jadi micin, jadilah seperti Chinmi!

Komentar