Benarkah Menikah itu Uenak Tenan?

Ada olok-olok usil yang mengatakan, nikah itu enaknya cuma 30% saja. Sisanya? Uenak banget.

Sayang sekali, apa yang kita pikirkan tentang kata uenak banget itu seringnya berputar-putar pada naskah drama percintaan, atau aktifitas berdua yang "panas-dingin-empuk-menggiurkan."

Kalau tak paham, berarti sampeyan masih belum cukup umur.

Seperti kuot para netizen, ekspektasi seringkali kurang berbanding lurus dengan realita. Saya menggunakan kata "kurang" untuk menyisakan sedikit ruang untuk rumus peluang. Bukankah yang absolut itu bukan yang nisbi? Betul?

Saya beri contoh supaya konkret. Tanpa bermaksud merendahkan atau mengunggulkan pihak tertentu, contoh ini hanyalah contoh.

Begini ceritanya. Suatu hari kawan saya yang baru menikah datang ke rumah. Dia bilang,"Istriku sudah mulai ngidam, bro.."

Sebagai jawaban seorang kawan yang baik, apalagi yang bisa saya berikan untuknya selain kalimah-kalimah puji syukur,"Alhamdulilah...?"

Tak lama tampangnya yang bersinar-sinar setelah kelepasan curhat soal istrinya yang mulai berbadan dua, tiba-tiba saja sinar-sinar itu agak meredup.

"Pusing bro. Cari duit.." katanya.

Belum sempat saya memberi komentar (sok) bijaksana, dia sudah menyela:

"Sampeyan pasti sudah pernah pusing dulu. Ya to?"

Saya senyam-senyum saja.

"Pusing" adalah gejala alamiah yang dialami oleh banyak pasutri muda seiring usainya fase bulan madu menuju kenyataan hidup. Jadi, tak istimewa sebenarnya. Melihat wajah teman saya, saya jadi teringat diri saya sendiri.

Modal dengkul, wani rabi. Itupun pinjam. Nanti dibalikin lagi kalau sudah berpenghasilan. Ah, masa saya harus menjelaskan kalau dengkul yang saya maksud  itu adalah hutang?

Kebutuhan sendiri saja masih banyak yang dipuasakan, sekarang malah menambah angka kebutuhan. Tapi kawan, ada banyak matematika yang belum kita ketahui di dunia ini. Salah satunya adalah matematika berumah tangga. Banyak bilangan ganjil yang ada di balik atap rumah tangga.

Dulu, semasa jomblo, duit duapuluhribu akan hangus untuk seorang diri dalam sehari. Sekarang, duit segitu ternyata bisa untuk makan tiga kali sehari dengan istri. Plus, udud dan ngopi. Bahkan, dengan pemasukan yang tak seberapa dan tak pasti, nyatanya masih bisa piknik dari Cirebon sampai Banyuwangi. Lebih bikin saya tak habis pikir, tiba-tiba saja ada dana yang entah darimana untuk aqiqah anak lanang beberapa waktu lalu.

Saya bukannya mau promo gerakan ayo nikah dan semacam itu. Apalagi mau buka sesi konsultasi. Jadi, daripada berpusing-pusing, mari kita amalkan nasehat Bang Haji: perjuangan harus pula disertai doa.




Komentar