Empati(?)

Kalau ingin mengasah naluri sosial maupun spiritual, kusarankan sesekali jangan piknik ke mana-mana. Tak usah merenung di pojokan kafe sembari mendengarkan alunan jazz yang terasa sangat beradab itu. Kau juga tak perlu semedi ke puncak gunung atau menyepi di tempat-tempat keramat.

Begitu kira-kira bunyi pledoi berteriak lantang di dalam diriku: murah tapi mewah, sesederhana rumus bahasa simple tapi present tense.

Tengoklah tetanggamu. Ya sederhana sekali. Sebab mereka yang tak punya waktu untuk sekedar menengok keadaan tetangganya, harumnya surga takkan tercium walau jidat ribuan kali menyuruk-nyuruk tanah. Kata ustad begitu, jika tak salah dengar.

Aku toh, tak punya wawasan dalil yang kuat sehingga bekalku hanyalah pepatah jaman old, "urip kui sawang sinawang." Banyak yang bikin status atau meme-nya di sosmed. Apa maksudnya, aku sendiri belum paham.

Sampai suatu saat kuputuskan untuk berkeliling di desaku. Untuk pertama kalinya aku baru sadar, ternyata banyak yang serba kekurangan daripada aku. Janda-janda lansia yang menjemur kerupuk untuk dijual dengan harga tak seberapa sekedar menyambung hidup, anak-anak yatim putus sekolah, dan aneka pemandangan lain yang barangkali bisa membuatmu tak berselera makan atau tega pajang foto kue kue manis di instagram.

Rumah-rumah dari anyaman bambu. Lantai tanah. Nyamuk ribuan. Jika malam dingin menusuk tulang. Jika siang, panasnya merajam. Di sosmed, aku sering pongah mengatakan, maka nikmat manakah yang kau dustakan? Sekali lagi, tanpa paham maknanya.

Aku pun pulang dengan hati yang redam. Bagaimana mungkin di tanah penggalan surga ini masih ada yang serba kekurangan. Ah, pemerentah memang anu, begini, begitu, sistem apalah, dan aneka analisis sok pintar bermunculan di kepalaku seperti jamur di musim hujan.

Saat asyik merajut memori yang kusebut renungan empatik itu, aku dikejutkan oleh suara batinku sendiri. Kau tahu, suara batin itu tak bisa menipu, bahkan kalau kau penipu paling pandai sekalipun.

"buento tenan, ngapain kamu nyari-nyari orang untuk dikasihani? Lha kamu sendiri bagaimana? .harusnya yang pertama-tama kau kasihani itu dirimu sendiri!"

Pikiranku menukas, "Lho, aku kan ingin belajar dan memahami empati. Itu bagus untuk mengasah naluri sosial kita. Apa yang salah? "

"empati? Tahu apa kau soal empati? Dan sejak dari rumah, kau punya pikiran seakan-akan mereka lebih rendah darimu, maka tatapan dan pikiranmu itu layak dilabeli empati?"

Aku tersedak. Selagi aku masih komplain, doaku nyaris bernada protes, misuh-misuh pada kenyataan, aku lupa dengan realita di balik penampakannya. Jangan-jangan di balik yang kulihat, mereka ternyata jauh lebih kaya batinnya dari yang aku duga. Jangan-jangan ada sebentuk kesadaran yang belum kupahami: Semeleh, menyadari kerja adalah ibadah, menerima, dan tak berumit analisis, kesemuanya tak ada dalam diriku.

Betapa tinggi aku menilai diri selama ini. Pantas saja jika tak ada satupun kekayaan batiniah itu menempel kuat dalam kamus hidupku. Aku sibuk berpikir, sedangkan batin seharusnya sibuk berzikir.

Aku teringat kisah seorang waliyullah yang menyamar menjadi tukang arit dan meminta bupati untuk membunyikan suara bedug di alun-alun kabupaten. Sang bupati yang tak tega, segera memberi beberapa keping emas. Tak dinyana, sang waliyullah yang menyamar balik menembak,"kalau cuma beberapa keping emas, aku tak perlu minta darimu." ia cangkul tanah, dan dari cangkulannya itu muncul bongkahan emas berkilat-kilat menyilaukan. Pak bupati pun terperangah. Ia tak jadi berempati karena kekayaan sesungguhnya bukan pada materi, tapi substansi. Paradigma pak bupati kurang lebih sama denganku. Bedanya, ia kemudian memutuskan untuk mengikuti jejak sang waliyullah dan di kemudian hari juga mendapat gemblengan tingkat tinggi yang menyingkapkan semua hakikat realita. Aku? Belum juga paham apa-apa.

Pada titik inilah aku seharusnya terjungkir. Sebenarnya aku harus ber-empati pada siapa atau apa? Atau enaknya bagaimana?

Komentar