Mbah Rowi dan Nasehat Mengaji

Jika pengalaman adalah guru paling berharga, bolehkah kita artikan tiap perjumpaan adalah mata pelajarannya?

Saya bertemu dengan orang unik ini. Sebut saja namanya Mbah Rowi. Dari luar tampangnya seperti preman pasar: perawakan tinggi besar, gondrong,kulit legam, dan kalau bicara pun suaranya menggelegar.

Dalam sebuah majelis diskusi yang menjadi rutinan tiap bulan puasa, ia hadir di tengah-tengah kami semua.

Tanpa dinyana, tiba-tiba Mbah Rowi mendekati saya. Lalu ia bertanya seakan-akan sudah membaca riwayat hidup saya.

"Sampean dulu mondok di mana?"
"Saya ndak mondok mbah. Cuma kalau kepingin ngaji, saya biasanya datang ke beberapa guru.."

Lama ia terdiam.

"Mbok ya ngaji Qurannya diopeni.." maksudnya adalah dihidupkan lagi. Saya tersentak. Kok dia tahu belakangan ini saya agak jarang baca kitab suci?

Belum selesai rasa terkejut itu, ia sudah melanjutkan,"Ngaji jangan hanya menggunakan indera ragawi. Tapi juga dengan batin. Masuk, selami ruang Alquran dengan daya batinmu. Nanti sampean akan ketemu dengan jagadnya "Quran" yang ada di dalam diri sampean.."

Di balik tampang luarnya yang sangar, ternyata Mbah Rowi memiliki daya batin luar biasa.

Saya mencoba mencerna nasehat dari Mbah Rowi yang dengan jitu mampu membaca keadaan rohani saya.

Dan sebelum saya sempat bertanya lebih jauh, ia sudah pamit undur diri.

Yang mau saya tanyakan,"Sampean bawa korek Mbah?"

*kisah nyata ini sedikit diubahsesuaikan dari versi aslinya..

Komentar