Habis Resah,Terbitlah Pasrah: Tulisan yang Berawal dari Ketidakpastian

Setiap mulai menulis, saya selalu dibayangi banyak ketakutan yang tidak penting.

Mau bahas isu terkini? Nanti dikira reaktif. Sedikit-sedikit kok mudah merespon. Tahan diri lah.

Mau membahas isu lama. Apalagi. Itu isu sudah basi kok masih saja dibahas. Dasar penulis gagal move on.

Saya tidak menyerah.

Saya mencoba menyasar isu-isu tematik saja. Lebih mudah berdasarkan ruang lingkupnya. Pun, referensinya pasti melimpah.

Dan lagi-lagi terbentur.

Soal agama sudah banyak ahlinya. Apalagi setelah kasus Ahok mengudara, tetiba bermunculan pakar-pakar agama yang sebelumnya tidak pernah saya kenal, mendadak terkenal.

Banting setir.

Bagaimana kalau soal sosial politik? Nah ini baru menarik. Tapi sebentar, bahas sosial politik tanpa data valid itu namanya asbun. Asal bunyi saja. Apa bedanya dong sama artikel-artikel hoax?

Sudah lelah saya baca copas hoaxs yang disebar dan diimbuhi pesan "viralkan!" di medsos. Saking banyaknya sampai kadang-kadang beberapa lini terpaksa saya tutup.

Kembali pada gelisah yang semakin sah. Menjadi tambah resah jika tak ada satupun persoalan yang berhasil saya tuliskan.

Sastra menyelamatkan saya dari kebingungan ini. Tapi, sejak berhasil keluar dari barisan para jomblo, saya kerap bingung barang bikin satu puisi pun. Lho bagaimana tidak? Puisi saya sudah hidup kini. Ia tidur,makan,dan lain-lain bersama saya. Tepat di sisi saya.

Saya pun mencoba berpositive thinking. Ingat bahwa dalam pikiran yang sehat terdapat ide-ide yang hebat.

Tatapan pun tertuju pada deretan buku di rak buku. Mereview isi sebuah buku sepertinya menyenangkan. Saya tak susah nyari-nyari ide lainnya. Masalahnya, buku-buku saya kebanyakan setua pemiliknya. Kembali ke paragraf awal dong.

Asem tenan. Kalau begini terus, lalu saya nulis apa dong?

Dan sebagaimana nasehat para bijak "Habis resah,terbitlah pasrah.."

Tak terasa selesailah satu tulisan yang anda baca saat ini. Sekian.

Komentar