Belajar Metode Instan dan Sepenggal Kebijaksanaan

Pada suatu ketika, seorang pembelajar kebijaksanaan mengalami kegundahan. Ia gelisah mempertanyakan hakikat kehidupan. Ia ingin dapat pencerahan.

Lama ia membuka berbagai kitab yang ditulis oleh para guru terdahulu, tapi tak ada satupun kitab yang berhasil memuaskannya.

Dalam titik puncak kebingungannya, ia bakar habis semua kitab itu. Ia putuskan untuk berkelana demi menemukan makna.

Maka pergilah ia menemui tokoh yang dianggap sebagai mahaguru ilmu kesejatian.

Saat menghadap sang mahaguru, bukannya diperlakukan ramah, ia justru dibiarkan berdiri di depan pintu rumah sang mahaguru tersebut. Ia dibiarkan menunggu.

Pada hari ke sekian, ia masih mengetuk pintu rumah sang mahaguru.

Tiba-tiba sang mahaguru membuka pintu.

"Akhirnya, setelah sekian lama," begitu pikirnya.

Apa yang terjadi malah sebaliknya.

"Dasar kerbau! Masih tidak paham juga!" maki sang mahaguru sambil mendorongnya sampai terjengkang.

Dalam momentum itu, sekejap mata, terbukalah mata batinnya. Ia mampu melihat hakikat kehidupan senyata ia melihat jari tangannya sendiri. Tercerahkan seketika!

*****

Kisah ini bisa benar atau hoax. Kita bisa mendebatnya nanti. Barangkali pula sidang pembaca juga pernah mendengar kisah yang jauh lebih fantastis?

Saya tak mau menghakimi kisah-kisah luar biasa seperti itu. Saya hanya ingin mencoba merenungkan kisah pencerahan superkilat itu dengan zaman kekinian.

Kalau boleh usil, bukankah potensi makrifat itu kian tinggi, mengingat teknologi informasi yang dahsyatullah?

Sayangnya, pada zaman ketika informasi melimpah dan aksesnya sekelip mata, ternyata ada paradoks mengerikan: kita belum tentu menjadi bijaksana apalagi tercerahkan.

Sebab pengetahuan yang diperoleh selalu sepenggal-sepenggal. Belum tuntas satu pengetahuan, sudah datang pengetahuan baru yang sepenggal-sepenggal pula.

Kebijaksanaan tidak lahir dari melulu kata yang kita baca dari quotes medsos. Pun pencerahan tidak datang dari sekedar berguru kepada Mbah Gugel atau Ki Yutub.

Bagi saya, keduanya hanya sumur komplementer saja. Sekedar pelengkap data yang sudah kita punya.

Ada proses yang harus dialami. Ada banyak rahasia yang mesti diselami. Guru dalam kisah yang saya ceritakan ulang pada sidang pembaca, tidak hanya transfer pengetahuan saja. Tetapi juga berperan dalam membuka pintu-pintu pengetahuan yang masih tertutup untuk memperoleh pencerahan sejati.

Boleh jadi ketersingkapan itu berlangsung begitu cepat, bisa pula lambat. Sebab waktu itu relatif. Anda tidak bisa mengukur kebijaksanaan seseorang hanya dari lamanya ia menempuh pendidikan, jika ia tak kunjung menemukan simpul makna perjalanan dirinya.

Terserah kalau mau dianggap klasik, kuno, produk masalalu, tapi saya masih percaya sebuah nasehat usang:

"Belajarlah pada guru yang jelas rantai keilmuannya. Nikmati proses lelah dan sakit itu. Karena yang instan itu walau enak, tetap saja kurang menyehatkan."

Jika anda atau saya beruntung, bisa saja mendadak tercerahkan setelah menerima tamparan cinta dari sang guru.

Yang jelas itu bukan dari Ki Gugel atau Ustad Yutub..

Komentar