Leontin Dewangga: Semacam Kumpulan Kisah Cinta Berwarna Merah Darah...

Bencana politik 1965 menyapu dan memberi citra paling buruk mengenai negeri ini, dan waktu itu usia si penulis-Martin Aleida- belum genap 22 tahun. Sebagai anggota redaksi jurnal kebudayaan 'Zaman Baru' yang diterbitkan Lekra, ia juga ikut diciduk lalu diceburkan ke kamp konsentrasi yang menurut pengakuannya sendiri: mutu pengelolaannya lebih buruk dari kandang sapi.


Begitu prolog buku ini. Leontin Dewangga adalah rekam patah hati Martin ketika disakiti rezim Orba. Kumpulan cerpen ini ditulis tanpa sayap-sayap di punggung kata, layaknya karya sastra. Ia tegas dan lugas, seolah bicara keseharian apa adanya.

Leontin Dewangga, satu dari sekumpulan kisah di dalamnya yang representatif atas isi buku ini, dan tak salah jika diangkat menjadi judul sampul depan..

Menariknya, Martin mampu menghubungkan kisah asmara dengan situasi politik pada tahun itu. Bagi saya, membaca antologi ini seperti menyelami kisah cinta berwarna merah darah: penuh perih dan luka. Dan tahun '65 adalah tahun-tahun yang muram bagi sepasang kekasih bernama-katakanlah- Palu dan Arit itu. Kekuasaan Orde Baru yang digambarkan 'bak tuhan di muka bumi' kemudian ikut menentukan kehidupan rakyat sampai pada taraf sekecil-kecilnya, bahkan sampai urusan hati yang merupakan privelege dua insan manusia...

Nah..Saya toh bukan kritikus sastra, jadi tak sanggup memberi uraian kritis atas buku mengasyikkan ini. Saya cuman pemberi rekomendasi.


Komentar