Terima Kasih, Mbak Juwita Bahar…



Juwita. Nama yang manis bukan? Memang, orangnya lincah, molek, punya suara dan goyang dangdut yang menggoda. Tapi bukan karena itu saya menulis ini. Itu persoalan subyektif, tak baik bila diumbar ke sana ke mari, nanti kena semprit KPI. Perihal yang hendak diceritakan di sini tak lain adalah tembang teranyarnya berjudul “Pusing Pala Berbie”. Ia tak sendiri ketika menyanyikannya, memang. Ia bernyanyi bersama-sama dalam Girl Band berjudul Putri Bahar. Namun, tanpa adanya si Juwita, butuh waktu lama bagi kita (khususnya saya) untuk mencerna siapa mereka. Tentu jangan bersyak wasangka dulu dengan menebak-nebak saya adalah fans gelapnya mbak Juwita. 

 Saya nge-fans kepada semua penyanyi dangdut yang kreatif dan inspiratif, selain bang haji Rhoma Irama tentunya. Dalam blantika dangdut playlist media player di leptop, saya termasuk Rhomania alias Rhomanisti aliran garis keras. Jangan macam-macam.

Tetapi, ada apa dengan Juwita? Mengapa perlu berterima kasih?

Iya, muda-mudi jaman sekarang perlu sedikit punya respek pada mbak Juwita. Terutama bagi yang sedang menempuh ujian akhir maupun tugas akhir, entah itu skripsi atau tesis. Sebab, karena mbak Juwita pula, generasi muda bangsa Indonesia punya jawaban yang mengasyikkan jika sedang dilanda rasa gelisah, stres, dan mumet tak karuan akibat overdosis materi pelajaran.

Tanpa adanya mbak Juwita yang dengan kenes-nya menyanyikan lagu itu, mustahil ada jawaban yang enak didengar kalau kita bertanya: Bro, apa kabar skripsi? Sudah sampai mana tesis? Berapa soal UN yang kamu jawab dengan benar? 



Kalau mbak Juwita, pastinya sudah menjawab dengan mengambil kunci nada terseksi diiringi desah ringan: pusing pala berbie, pala berbie, pala berbie, aw aw aw awww… sambil pegang kepala, geleng kanan-kiri, dengan centilnya. Sedap dilihat dan semriwing didengar karena yang terbayang di dalam benak kita adalah sosok berbie cantik nan jelita sedang disergap rasa cenut-cenutan di kepalanya. Suatu ekspresi yang tetap asyik dinikmati, walaupun itu diperagakan oleh Sule atau Aziz Gagap.   

Dan pusing pala berbie sudah menjadi jawaban, ungkapan, sekaligus ekspresi terdalam yang ikut menulari hampir semua teman-teman, bahkan sampai menjadi quotes meme dan display picture akun-akun penting di media sosial. Mungkin jika seorang psikolog dan pakar linguistik bersekutu, mereka akan memberi nama pusing pala berbie syndrome karena ia sudah menggejala melalui praktik berbahasa sehari-hari sebagai ungkapan emosi. Katakanlah, semacam tombol autoswitch on di alam bawah sadar ketika ada yang memancing problematika beban hidup. Dari perspektif marketing komunikasi, tentu ini prestasi tertinggi karena ternyata mampu melekat di ingatan dan terus terngiang-ngiang… Aduh, pusing pala berbie…     

Bayangkan apabila lagu ini belum ada, jawabannya itu-itu saja, membosankan, dan bikin si penanya ikut stres. Namun, mbak Juwita kiranya harus lebih kreatif lagi. Sebab, kecepatan tren dalam berkata-kata di abad ini segaris dengan meningkatnya kecepatan internet dari tahun ke tahun. Jangan berhenti sebatas kata pusing, pala, dan berbie, ya mbak…    
 
Maka, bersamaan dengan tulisan singkat ini, kami haturkan terima kasih setulus hati kepada mbak Juwita berikut Putri Bahar atas ajarannya tentang lagu yang teramat kompatibel dan aplikatif dalam memikul beraneka beban kehidupan sehari-hari ini. Tabik.

Komentar