The Power of Love.
Lagu ini dijamin akan melengkapi kepayang para pencinta dalam mendayung sampan
asmara. Sebagai pecinta yang selalu berbunga-bunga, secara sepihak mereka akan
menyebut lagu itu representasi dari “kekuatan cinta”. Cinta dianggap kekuatan
setara dewata yang mempertemukan, lalu memisahkan. Cinta dibayangkan bagai
katalisator untuk menghidupkan yang mati, mematikan yang hidup, meracuni madu,
memadu racun. Ia semacam zat perekat bagi yang dekat dan jembatan membentang
bagi yang berjauhan.
Tetapi pengertian itu terkadang sedikit membuat perut mual karena
saking banyaknya yang berpikiran “sehat”, sesehat The Golden Ways Oom Em Te. Tentu
jika imajinasi liar bin egois yang menjadi kamus penerjemah, maka bunyi dari
judul lagu maharomantis itu seharusnya adalah “kuasa atas cinta.”
Sering kita temui istilah melenakan saat sepasang kekasih
mempertemukan kata-kata: atas nama cinta, engkau milikku, aku milikmu. Ada
relasi yang memiliki, dan ada yang dimiliki. Maka di sini, cinta seringkali
berputar-putar pada konsep tentang kepemilikan.
Berawal dari rasa ingin memiliki. Perlahan tapi pasti,
setelah ikrar saling memiliki itu terucap, maka ada persepsi bahwa ia bagian
dari sang aku. Layaknya jemariku atau kedua tanganku. Ia bergerak dengan command-command dari impuls-impuls saraf
otakku.
Gejolak yang timbul setelah kepemilikan terjadi adalah
keinginan untuk menguasai.
Sebagai bagian dari diriku, tangan dan kaki itu
mesti kukuasai atau ia bergerak ke sana ke mari tak terkendali. Namun, pikiran
itu terlalu liar dan astral untuk dimiliki atau dikuasai karena berisi berbagai
persepsi hingga imajinasi. Setidaknya tubuhnyalah yang bisa dikuasai. Tubuh
yang telah dikuasai akan mudah untuk diatur dengan berbagai regulasi: jangan
telat makan, jangan ke situ, jangan ke sini, harusnya begini, harusnya begitu,
ini, itu, dan dengan cermat kita melabelinya perhatian, sementara perhatian itu
bagian dari narasi besar bernama kasih sayang.
Then listen my
whisper: This is love, darling. Loving is caring.,and who doesn’t have any concern to caring, they’re are never loving…(intermezzo)
Selanjutnya, tubuh kekasih yang telah diatur akan tunduk dan
patuh. Ia disiplin dan sulit diterima akal sehatnya untuk memiliki atau
dimiliki yang lain. Apabila mau jujur, tanyakan pada para tukang selingkuh itu,
adakah rasa bersalah atau tidak nyaman saat tengah bermesraan bersama yang
lain. Ada, tapi kebanyakan tidak mengakui.
Kuasa, tak selalu berjalan searah. Seperti arus lalu lintas,
kuasa juga bisa berjalan dari dua arah sekaligus dan selalu relasional. Bahkan
diam sekalipun, sebenarnya adalah bentuk pengetahuan ketika kuasa itu bekerja.
Diam itu jawaban paling memuakkan. “sayang sudah makan?” jawabannya diam. Diam
itu pendisiplinan pula, sekalipun tidak terucap. Ia membiasakan (baca: memaksa)
tubuh yang lain untuk memahami, bahwa ada ketidakberesan dalam relasi-relasi
antar kuasa ini.
Kita boleh curiga kalau cinta yang memiliki dalam dangkalnya
pemahaman tulisan ini adalah warisan dari hasrat politik tubuh paling purba. Boleh
kalau kita tarik genealoginya sejak Qabil (Kain) yang membunuh Habil untuk
mendapatkan Ikrima, hingga revolusi industri yang merupakan cikal bakal
kapitalisme. Tubuh kekasih adalah resource
menjanjikan. Mesti dimiliki, ditundukkan, ditaklukkan. Cinta adalah representasi
dari watak eksploitatif, patriarkal, dan nyaris mengulang-ulang narasi lama
perihal hak-kewajiban.
Jika semua ini soal penundukan, penguasaan, dan penaklukan, di sisi mana nantinya kita memahami cinta sebagai persahabatan, perjumpaan-perjumpaan hangat, dan sebasah cair itu? Jangan-jangan mitos belaka, seperti reffrain dari tembang Armand Maulana: Semua itu bohong. Semua itu mimpi… Cinta memang tak harus memiliki, tapi dengan memilikinya, tidak selalu berarti mencintai.. Aduh pusing pala berbie
Komentar
Posting Komentar