Kedai kopi mungil itu – kalau enggan disebut café - bernama “philokopie”. Barangkali
hanya segelintir kepala yang mengenang nama mengasyikkan ini sepanjang Jalan
Kaliurang, Yogyakarta. Sebab, penyedia kopi itu sekarang sudah mundur dari
arena kuliner. Mereka tak buka lagi. Konon, kesulitan keuangan. Wallahu A’lam.
Cerita itu biarlah milik mereka.
Perihal yang menarik untuk dicermati bukanlah sebab musabab
mereka gulung tikar, kadar kemiringan harga kopi bagi mahasiswa, dan kisah-kisah
semacam itu. Iya, yang menarik adalah nama dan tagline mereka: philokopie: aku ngopi maka aku ada, bentuk plesetan dari bunyi filsafat paling populer
: aku berpikir maka aku ada. Cogito ergo sum.
Nama dan tagline itu adalah produk bahasa. Kesepakatan ini sudah
dituliskan dan diperdebatkan berkali-kali di antara para ahli bahasa. Saya
mencoba memahaminya.
Dedengkot semiologi,
Roland Barthes, pernah berpikir, produk bahasa, apapun itu tak pernah lahir
sendiri dan begitu saja. Setiap bahasa yang muncul di depan mata, di baliknya/di
sekitarnya selalu tersembunyi berbagai mitos. Mitos dalam benak Barthes bukan
sekedar takhayul, cerita rakyat, atau dunia gaib, tetapi berbagai ceritera,
arus wacana, kehidupan sosial, sampai isme-isme yang hidup di benak kita.
Terlepas itu disadari atau tidak.
Barthes sampai pada taraf keberhasilan menemukan teori
lumayan mengejutkan, bahwa antara bahasa dan mitos, tidak harus selalu ada
hubungan signifikan. Jika diibaratkan seperti iklan komersil tolak ngain yang
kita hafal di luar kepala: orang pintar, minum tolak ngain. Apa hubungannya
antara kepintaran dan minum jamu? Apa jamu bisa bikin pintar? Atau hanya orang-orang
pintar saja yang minum jamu merk ini, sementara yang tidak minum, jangan-jangan
tidak pintar? Agaknya demikianlah cara kerja mitos.
Maka Philokopie dan tagline-nya sebenarnya juga cermin dari pelbagai
peristiwa seputar kopi. Ia salah satu gambaran fenomena yang tampak menonjol
beberapa tahun belakangan ini, ketika sosial media mulai menjadi ajang ngeksis,
adalah: tiba-tiba saja beberapa teman di
sosial media yang dulu saya lihat tak pernah sekalipun pegang cangkir berisi
kopi, sekarang mendadak menjadi pecinta kopi. Itu teman-teman saya, entah
teman-teman anda. Barangkali anda menemukan gejala yang sama.
Entah sejak kapan gejala ini muncul dalam kehidupan mereka dan
bagaimana sejarahnya, tapi yang jelas, usia kopi di Indonesia pastinya lebih
tua daripada kecintaan mereka terhadap minuman enak ini. Mereka tiba-tiba paham
bagaimana membedakan mana robusta atau arabica hanya dari melihat busa yang
bertebaran di bibir gelas. Mereka juga bisa berkomentar canggih, tentang mana kopi
yang bijinya di-roasting dengan mesin atau manual bisa diketahui hanya dari
mencium aroma atau nyeruput sedikit kadar keasamannya dengan ujung lidah. Semua
bisa berkomentar bak gastronom kopi semacam Bondan Winarno. Maknyus.Mantap.
Dan kecintaan itu ditampilkan lewat penampakan diri di media
sosial. Semisal dengan pasang status tentang kopi : happiness is a cup of coffee and a really good book. Cara lainnya
adalah selfie atau foto bersama kopi.
Coba bayangkan, betapa level keren anda meningkat drastis jika foto dengan pose
duduk merenung, pegang buku di tangan kanan, secangkir kopi di tangan kiri,
atau ditukar-tukar tempatnya itu tak jadi soal. Itu teknik pencitraan yang
keren bagi para jomblo untuk menarik perhatian lawan jenis.
Dengan cara demikian, anda tak sekedar “ada” sebagai manusia
kontemporer, tetapi juga memberikan makna: ini aku dan kopiku, mana kamu dan
kopimu? Kalau tak tahu, terkadang anda dipertanyakan: kemana saja kamu?
Tak habis pikir, ada apa dengan kopi? Mengapa harus kopi,
bukan wedhang uwuh atau bandrek?
Terkadang terbit kecurigaan menggelikan, jangan-jangan
eksistensi itu muncul karena kopi punya istilah keren bernama coffee, sedangkan tempatnya bernama café. Jadi terkesan cerdas, mahal, dan
berkelas, sekalipun itu kopi lethek dari angkringan atau hanya seduhan kopi
sachet-an.
Nah, ini berarti perkembangan selera terhadap kopi boleh
jadi berbanding lurus dengan sebaran kafe-kafe dan produksi kopi di sekitar
kita. Jika dulu kopi dan café adalah wahana
bagi kelas menengah Eropa abad 18 bertukar pikiran secara egaliter karena tak
ada ruang lagi selain itu. Lama-kelamaan, mampir, nongkrong, sambil minum kopi
menjadi gaya hidup paling mutakhir. Tak harus mikir ketika nyeruput kopi dan
mampir di kafe, tidak mikir juga tak masalah. Semuanya sah.
Mungkin juga rasa pahitnya yang punya falsafah tingkat
tinggi, dimana bisa anda baca di novelnya Andrea Hirata: semakin pahit kopi
favoritmu, semakin pahit hidupmu. Gagah kan? Best seller pula.
Lha kalau bandrek, apa coba? hidup sepedas bandrek bakal
terdengar aneh di telinga. Susah dicari filosofinya, susah pula jadi best
seller jika dibukukan.
Yang penting, aku ngopi maka aku ada, bila aku tak ngopi,
itu artinya aku tak ada karena keberadaan saat ini salah satunya ditentukan
oleh kopi. Kalau anda ingin dianggap ada, ngopilah mulai dari sekarang. Jangan
lupa selfie-nya sekalian.
Maaf kalau tulisan ini tidak cerdas.
Aku ngopi karna aku ngantuk garap, Th*s*s...
BalasHapusAku asal minum ja, belom pernah selfie kopi pula..
nantilah ku lakukan semua itu, sekalian sama pokok kopinya...ada bnyak tuh cak di kebun bapake haha...