Kartosoewirjo Beloem Mati....

Di suatu sudut toko buku, buku imut berwarna hijau daun itu menggoda. Agak terkejut sebenarnya saat membaca judulnya: Kematian Kecil Kartosoewirjo. Di punggung buku tertulis, semacam kumpulan yang dianggap sejarah liris. Buku imut hijau lumut ini mewartakan "suara lain" Kartosoewirjo. Gagasan yang cukup berbahaya andai diterbitkan semasa kekuasaan Sang Jenderal Yang Tersenyum.

Tentu bukan Kartosoewirjo, "pahlawan" DI TII, yang dieksekusi ketika Soekarno berkuasa itu sendiri yang menulisnya, melainkan Triyanto Triwikromo. Nampaknya ia berkontemplasi panjang saat hendak menulisnya, ruh Triyanto seakan terlepas dari jasadnya di tahun 2015 dan terbang ke masa Orde Lama, sebuah masa ketika Kartosoewirjo menggemakan ideologinya.

Saya tak pandai soal kritik sastra. Bukan bidangnya. Komentar ini hanya suatu catatan kecil saja. Selengkapnya tentang Karosoewirjo ya mari kita sama-sama baca sejarah tokoh mengagumkan ini... Lanjut...

Tiba-tiba ingatan saya juga mabur tak karuan dan jatuh pada sebaris pemikiran Schleirmacher. Schleirmacher mengatakan, jika ingin menafsir suatu teks, seorang penafsir mestilah ngerogoh sukmo dulu, keluar dari badan kasarnya, dan merasuk ke badan kasar sang penulis teksnya. Mungkin demikian yang coba dilakukan Triyanto. Ia membayangkan seolah-olah sosok "aku" dalam 52 kumpulan sajak ini adalah Kartosoewirjo, sang aktor sejarah, yang sekaligus sobat kental Bung Karno itu. Sebagai pendekar kata, Triyanto itu sakti, sebab memungkinkan pembaca bukunya memahami alur berpikir Mbah Karto...

"Apakah aku samudra dan Kau hanyalah sungai kecil
Apakah aku tak terhingga dan Kau hanyalah ketiadaan
apakah aku hukum dan Kau hanya hakim di luar peradilan
apakah aku jawaban dan Kau hanya pertanyaan sepele sebelum ujian
apakah aku cahaya dan Kau hanya gelap setelah hujan?
Gusti, apakah Kau juga kesepian?"


Alangkah gelap isi batin Mbah Karto itu, pikir saya. Ia berani betul mengecilkan Tuhan Yang Maha Besar itu sebagai "sungai kecil", "ketiadaan", atau "pertanyaan sepele", sungguh kurang aj...tunggu dulu. Di akhir sajaknya, penyair yang meminjam isi kepala Mbah Karto mengatakannya dengan jujur, "Gusti apakah Kau juga kesepian?". Ini semacam madah yang pasrah. Dalam dunia kepenyairan - sedangkal pemahaman saya - kesepian bermakna tiada seorangpun atau sesuatu apapun di sisi sang aku. Mbah Karto kesepian, ia berjuang dan berdarah sendirian. lantas ketika penat menjemputnya, ia bertanya (yang mirip doa dialogis) kepada Tuhannya...    

Dan saya hanya bisa termangu di kamar...semangu-mangunya...

nb: bagi agan-agan yang ingin liat jejak dokumentasinya, Fadli Zon pernah membukukannya dan ada agan kaskuser yang ikut mengunggahnya, klik saja di link ini kaskus.com

Komentar