Jadi, apa hubungannya antara Inter Milan, Wolfsburg, dan Bli
Made? Ketiganya terpisah ruang dan waktu, kecuali dini hari tadi ketika Liga
Champions 2015 mempertemukan kisah ketiganya. Saya ingin cerita sedikit saja
tentang ketiga entitas itu. mohon maaf bila tidak jelas dan mendetail, sebab
saya bukan pencerita yang baik.
Saya menangkap sisi keunikan tersendiri dari teman sekosan
ini. Umumnya, fans fanatik sekalipun malas teriak keras-keras ketika nonton
bola sendirian, meskipun yang bermain adalah tim kesayangannya karena itu tidak
asik jika tidak beramai-ramai. Paling banter adalah geleng-geleng kepala,
misuh-misuh lirih, dan update status penuh kejengkelan di media sosial. Tapi premis
itu tidak berlaku pada diri Bli Made.
Di tengah malam buta, ia bisa teriak-teriak heboh sampai
membangunkan seisi kos kalau sudah Inter yang main. Saat Palacio, striker
andalan Inter melakukan blunder misalnya, ia bisa mendadak fasih mengabsen
seluruh penghuni Kebun Binatang Gembira Loka mulai kandang A sampai kandang Z. sebagai
contoh: A= Anjing!, B=Babi!, C=Celeng!….sampai… Z=Zebraaa! Hebat kan? Tak
peduli sedang nonton sendiri, berdua, bertiga, atau berempat. Baginya, duduk di
depan tv kos yang hanya berdimensi 14 inchi itu ibarat duduk di tribun utama
stadion Giuseppe Meazza. Auranya tetap gegap gempita dan semangat membara…
Dan dini hari ini, tim kesayangannya tertunduk lesu saat
bertandang ke markas Wolfsburg. Saya sendiri bukan pendukung fanatik klub
manapun. Untuk ukuran pecinta bola, saya termasuk suporter tak setia. Di satu
waktu, saya bisa menyukai kedua tim yang sedang berhadapan kalau permainannya
sama-sama bikin tercengang. Jadi, dalam kasus ini, saya merasa bebas untuk
menggoda si Bli (baca: mem-bully) habis-habisan sambil haha-hihi tanpa beban. Jelas,
si Bli makin meradang. Memang, di awal pertandingan, Inter sudah bisa mengoyak
jala gawang Wolfsburg dengan melewatkan bola melalui sela-sela kaki kiper.
Sungguh gol yang menistakan kehormatan seorang kiper.
Karena mendadak lapar, saya putuskan ke warung burjo dulu.
Toh, si Bli tenang-tenang saja. Nampak ekspresi optimis dan percaya diri
memancar dari wajahnya. Inter memimpin skor 1-0 atas Wolfsburg. Si Bli masih
teriak sambil berseri-seri.
Ketika saya kembali, skor sudah 1-1. Heran, kok bisa? Tak
lama kemudian, blunder kiper Inter membuat kedudukan berbalik 1-2. Dua puluh
menit menjelang babak kedua berakhir, tendangan bebas nan keras yang dilepaskan
De Bruyn dari jarak 35 meter tak kuasa ditepis kiper Inter, skor pun berbalik
360 derajat menjadi 1-3! Setan betul ini klub Serigala Jerman. Selagi si Bli
misah-misuh tak karuan, diam-diam saya mencoba menganalisisnya, meniru Bung
Kusnaeni atau Bung Towel.
Tidak seperti Inter yang kerap agak gegabah dalam menyusun
permainan, ritme permainan anak-anak kota kelahiran mobil VW itu tampak
konstan: tidak melambat atau semakin cepat. Mereka tidak hanya disiplin dalam
bertahan, tetapi juga taktis dan punya alur serangan yang hampir tak terbaca
lawan. Yang membuat gregetan, sesungguhnya agresifitas Wolsfburg tersimpan
rapat di balik perhitungan-perhitungan strateginya yang cermat. Sangat elegan
dan tenang.
Dan ketika mata saya jatuh pada wajah si Bli. Ah, tak tega
menuliskannya. Mungkin perumpamaan yang paling tepat ialah peribahasa sudah
jatuh tertimpa tangga pula, sudah tim kalah masih kena bully pula. Saya tak
sendiri ketika membully-nya, sebab, dua teman kos yang jengkel karena terbangun
gara-gara teriakan dan gedoran si Bli (oh ya, si Bli ini tak hanya
jingkrak-jingkrak, tapi juga main gedor tembok) ikut membully-nya di tengah
malam buta.
“Sudahlah, bli…Inter masih bisa lolos kok, asal menang 3-0
di kandang sendiri dalam leg kedua,” hibur kami, meski mustahil jika melihat
permainan serigala jerman yang buas tapi disiplin itu.
“Iya bli.. entar coba usul sama erick tohir buat beli Atep
atau Andik…” ini bullying dengan nada imajinatif yang penuh ejekan. Lebih dari
ini kami sumpah tak berani.
Tuntas sudah.
“Cicing, apa gae tu, bisa main bola sing?!!!” (A***ng!
ngapain aja sih, bisa main bola nggak?!!) cmiiw…
Komentar
Posting Komentar