Malam ini saya berpikir beberapa kali soal lagu yang puitis.
Ada dua hal yang membuat lagu menjadi puitis. Satu, liriknya. Dua, melodinya.
Tiga, memori akan lagu itu sendiri. Untuk memahaminya, mari kita kuliti satu
per-satu. Tentu jangan dianggap terlalu serius, karena ini semua berdasarkan
keluguan pemahaman saya terhadap dunia musik. Silakan dikritik. Bebas kok.
Soal pertama, liriknya. Dalam situasi begini, instrumen
musik ibarat tubuh. Sementara yang menjadi nyawa adalah liriknya. Lirik lagu
serupa syair-syair puisi. Bedanya, puisi disuarakan dengan intonasi, tetapi
lirik musik dibunyikan dengan irama. Maka, apabila anda ingin tahu kualitas
bermusik seseorang atau kelompok musik, dengarkan liriknya baik-baik. Lirik
adalah nyawa seorang musisi. Sumber kekuatan yang menembus perasaan
pendengarnya.
Saya sendiri masih memegang teguh pedoman: musik yang paling
nikmat didengar adalah musik dengan lirik-liriknya yang puitis. Puitis tidak
selalu romantis: merengek-rengek minta dirindui, dicintai, atau bermanja-manja
dengan kekasih. Tidak mesti begitu. Tetapi juga bicara soal nasib sunyi, penindasan,
keterasingan, dan jutaan ekspresi yang tidak cukup dibicarakan di sini.
Bagaimana dengan musik instrumental? Maka, ini terkait soal
kedua, yaitu bagaimana melodi, nada, dan irama itu disusun dan disampaikan
kepada gendang telinga. Bahasa liris, digantikan bahasa melodis, dan ini
tergantung dari persepsi juga imajinasi kita sendiri. Di dalam hati kita, saya
membayangkan ada benang-benang halus yang bergetar jika disentuh oleh sesuatu
yang mampu menggoyangnya. Terkadang perlahan. Terkadang menghentak. Terkadang biasa
saja. Datar.
Tetapi ada beberapa musisi yang berhasil meracik keduanya. Ini
benar-benar langka dan wajib dikoleksi.
Saya baru menyadari satu hal kenapa merindukan lagu puitis
itu ibarat kebelet pipis. Sebab lagu yang puitis akan menyisakan ingatan. Lalu,
sebagai manusia, kita mulai menghubungkan benang-benang itu dengan kehidupan
nyata. Memang lucu. Tapi mau bagaimana lagi…
Sengaja tidak ada contohnya kali ini. Nanti dikira
determinis selera. Bicara lagu, syair puitis, dan musik, hanyalah masalah
selera. Selera tidak ada standarnya. Kalaupun ada yang bicara soal standarisasi
selera bermusik, berarti sampeyan sudah termakan logika industri, dimana yang
paling larislah yang dinamakan selera terbaik. Maka, yang terpenting, kata Rhoma Irama, maka
dari itu silakan bermusik, asal jangan saling mengusik, boleh saja membenci,
tapi jangan mengganggu. Yang mengusik dan mengganggu diusir Bang Haji: “Minggiiiir!”
Komentar
Posting Komentar