Tentang Kekerasan yang Belakangan Ini Terjadi



Saya kok tidak habis pikir, sampai habis pikiran saya, karena pikiran saya memang segitu-gitu saja, mengapa ada saja segelintir orang yang suka main kekerasan untuk menyelesaikan masalah? Jangan-jangan patokannya adalah logika phalus yang kalau tidak keras tidak asik? Maaf, kritiknya sedikit vulgar karena aksi kekerasan itu sendiri tidak kalah vulgar. 

Saya sering menghela nafas berat, seberat muatan truk, kalau menyadari bahwa logika yang sering mereka gunakan adalah dalil-dalil agama. Saya rasa tidak masuk akal dan timbangan perasaan manakala dalil agama digunakan untuk tindak kekerasan main pentung sana-sini, menjarah seenaknya, apalagi perusakan fasilitas umum. Halte nggak salah kok dibakar? Stupid. 

Logika mereka saya ibaratkan dengan logika kalimat ini: “bismillah, niat ingsun mentung sampeyan” atau “alhamdulilah, saya berhasil ngepruk sampean,” “allahu akbar, tuhan nyuruh saya gebuk sampean dengan pentung suci ini.” Dengkulmu itu, bawa-bawa nama Tuhan.

Tapi, ya begitulah. Sejarah manusia itu dilumuri darah dan air mata. Saya menyadarinya. Dan mungkin sampean-sampean juga. Barangkali anarkisme itu adalah potensi manusia yang tersembunyi. Menunggu untuk dipanggil namanya. Anarkisme mungkin adalah satu dari jutaan kode genetik yang ada dalam diri manusia. Saya tidak tahu persisnya.

Yang tidak kunjung saya pahami, sudah sekian periode kita mengutuknya, tetapi selama itu pula sejarah kekerasan selalu terulang. Ritme sejarah selalu: anarkisme-kutuk anarkisme-anarkisme baru-kutukan baru untuk anarkisme. Mirip sekali dengan siklus epistemologinya Thomas Kuhn.  

Dan sejauh ini agama adalah tameng terkuat sekaligus terindah yang bisa dipakai untuk menyelamatkan muka seseorang dari tuduhan melakukan kriminal. Main pentung kan urusan pidana, bukan begitu?. “lho, saya kan mengamalkan ajaran tuhan, untuk nempeleng orang yang keluar dari jalan tuhan?” Dengkulmu! (lagi).

Selalu sedangkal yang saya pahami pula, dalam ajaran agama, aksi kekerasan atau anarkisme adalah solusi nomer seratus sekian ketika diplomasi dan negosiasi berjalan teramat alot. Itu pun ketika berada dalam situasi dan kondisi sangat sangat kepepet, sekaligus terdzolimi. Kalaupun mesti anarkis, masih ada aturan mainnya, tidak asal pukul dulu,mikir belakangan. Nah ini? Apakah mereka kepepet dan terdzolimi? Tidak. Apakah mereka direndahkan harga dirinya maupun agamanya? Saya rasa masih bisa diatasi tanpa harus mengeluarkan senjata tajam maupun tumpul. Itu premanisme namanya.  

Indonesia pasca Orde Baru membuka ruang seluas-luasnya untuk berkomunikasi yang baik dan benar. Oke, kita bisa berdebat panjang kali lebar soal ini. Mereka mungkin beralasan, kami sudah menempuh jalur birokrasi, tapi kok tidak digubris. Lha gimana mau digubris, gagasan-gagasannya hanya mementingkan kelompok sendiri. Ingat, bung, Indonesia bukan rumahnya mbahmu tok. Tapi juga rumah bagi mbah-mbah kita semua, yang akhirnya nanti menjadi rumah bagi kita juga. Sementara kita ini juga beragam rupa, maka ketika melontarkan wacana, setidaknya berpikirlah lebih radikal dan luaskan pemahamannya, jangan hanya berkutat pada tempurung sendiri. (radikal sering disalahartikan dengan aliran agama yang anarkis. Coba deh konsultasi sama mbah google).

Okelah kalau pakai alasan ajaran agama. Coba tengok lagi ajaran-ajaran yang disampaikan para Nabi mereka. Apakah mereka selalu memulai penolakan terhadap ketidakadilan dengan metode tendangan dan kepalan tangan sambil teriak-teriak terlebih dulu? Hmmm… Mau pakai alasan taat terhadap pimpinan kelompok? Kalau begitu, kenapa tidak meneladani para Nabi saja? 

Coba dipikir secara sederhana, lebih tinggi mana, pimpinan kelompok mereka dengan para Nabi yang membawa ajaran agama itu sendiri, yang live dari Gusti Allah, sementara para pimpinan tak jelas itu hanya menafsirkan dari penafsiran orang yang tak kalah tak jelasnya pula?

Saya tidak marah kok. Sekedar getir saja.

Komentar