Presiden "Pecas Ndahe"

Presiden yang baru sudah hadir, pemirsa. Seperti biasa, hujan kritik, saran, caci, maki, juga serapah bakal mampir di telinganya. Terlepas itu didengarkan atau tidak, diperhatikan atau cukup diabaikan saja sambil pasang senyuman yang mengisyaratkan “aku ra popo,” saya membatin sendiri: apa kabar kepala?

Pasalnya, saya kok percaya, menjadi presiden itu sebenarnya pusing. Bayangkan saja, di parlemen, ada isyarat penjegalan kekuasaannya sekalipun wacananya masih persoalan jegal-menjegal kebijakan dan belum sampai level ‘coup de etat’. Kubu terpecah. Ada yang membela, ada yang membelot. Kompleks bukan main. Mengamankan kekuasaan itu tidak sesederhana siskamling di kampung-kampung.  

Sementara di luar parlemen, ada jutaan persoalan sebanyak jutaan rakyat yang dipimpinnya. Persoalan itu terdiri dari soal-soal sejarah sampai rumusan masalah kontemporer. Pendek kata, mulai zaman kolonial, poskolonial, modern, sampai fase posmodern. Terutama kesejahteraan berbasis material yang sementara waktu masih belum menjadi wacana usang di sini.  

Bagaimana cara mengatasi kerumitan ini?

Untuk menggapai solusi, bapak presiden punya formula revolusi mental yang membuat kedua mata semua orang yang menyaksikannya berbinar-binar terharu. Semua tergantung dari mentalitas kita sendiri nantinya, begitu kira-kira ajaran moral pak presiden. Tuhan itu malas mengubah nasib si pemalas. Maka, pantaskanlah diri sebagai pribadi yang siap menerima nasib mujur dan makmur. Pantaskanlah dirimu, Indonesia! seperti yang sudah berkali-kali diingatkan sang motivator bersalam super itu. Persis seperti itulah yang dulu ditulis di spanduk-spanduk semasa kampanye. Revolusi 
mental. Gagah betul semboyan ini. Siap – tidak siap kan urusan nanti.  

Saya juga percaya, beliau sudah punya tim ahli yang siap menyederhanakan carut-marut problematika di seluruh penjuru negeri zamrud khatulistiwa. Masalah selesai?

Ternyata belum. Kita sedikit terlewat bila mengacuhkan kepentingan-kepentingan asing yang ingin menanamkan sesuatu di bumi Indonesia. Investasi, tenaga kerja, politik, keamanan, hubungan dagang, pendidikan, gaya hidup, dan tetek-bengek lain yang belum sempat kita absen.
Maka batin saya lagi, rasa-rasanya, pusing bakal menjalar dari kepala, turun ke leher, terus turun ke punggung, pinggang, pinggul, terus….teruskan sendiri.

Dan apakah sampeyan juga memikirkan kurang lebih hal yang sama dengan saya? Bahwa revolusi mental, persoalan luar-dalam negeri, parlemen-non parlemen, KIH-KMP, terbatas penyelesaiannya karena legalitas hukum di Indonesia membatasi kuasa si presiden. Benar, hanya sampai 5 tahun ke depan nanti. Maka diharapkan kerjasama semua pihak agar segalanya berjalan mulus.
Selama itu pula, saya, sampeyan, dan kita semua, hendak “bekerjasama” dengan cara bagaimana bersama pak presiden? Apa yang kira-kira bisa dihasilkan dari “kerjasama” itu tadi? Cukup menarik.  
Jika kita mau diajak kerjasama, pastinya harus mau urun rembug dan turun gunung juga. Tidak hanya merasa enaknya, tapi juga mumetnya. Tidak adil bila cuma kita yang kerja, pimpinan ongkang-ongkang kaki. Tidak fair pula, pimpinan berplesir, kita kerja sendiri. Dua-duanya mestilah sama-sama kerja dan sama-sama berpenghasilan yang adil dan beradab. Soal takaran keadilan dan keadaban, seperti biasa – itu bisa dinego nanti.  

Satu hal yang cukup aneh, walau kita membayangkan alangkah njelimetnya menjadi seorang presiden, sejak dulu sampai sekarang kok belum pernah terlihat sosok presiden mumet? Sejauh ini, wacana yang berkobar adalah hanya rakyat yang mumet, sedangkan presidennya masih terlihat “aku ra popo kok.” Coba kita sama-sama ngecek sejarah, semoga saya yang keliru.
    


Komentar