GantengGantengSerigala. Sepintas saja tanpa berpikir
panjang, anda bisa menebak kalau ini sinetron murahan. Tema yang klise, tentang
cinta remaja dan roman picisan. Anda sudah paham supaya tidak mencari nilai
estetika dalam karya seperti ini. Maka, jangan berharap pula mendambakan figur
panutan generasi muda di sana.
Kabarnya, sinetron ini disemprit KPI. Pasal sekian ayat
sekian, sudah cukup menyingkirkan para ganteng yang serigala atau serigala yang
ganteng itu, keluar dari layar kaca televisi sejenak. Alasannya adalah etika
yang ditetapkan tidak membenarkan ada adegan percintaan di sekolah. Sekolah itu
ruang suci yang harus steril dari segala macam benih-benih amoral. Pastinya banyak
variabel kunci untuk menebak apakah tayangan ini merupakan pelanggaran atau
bukan.
Ibarat wasit sepakbola, mengapa baru disemprit sekarang?
Pelanggaran sudah terjadi sejak menit pertama bola itu disepak. Jika boleh
jujur kepada diri sendiri, berapa prosentase tayangan yang sesuai etika dibandingkan
yang tidak sesuai etika?
Katakanlah, KPI punya kadar tersendiri untuk menentukan
tayangan ini layak atau tidak untuk dipertontonkan. Pelukan yang dihalalkan KPI
maksimal berjarak 5 milimeter, misalnya. Berarti pelukan di atas 5 milimeter
diperbolehkan. Adegan cium-mencium tidak boleh mengenakan seragam sekolah. Jadi,
kalau pakai baju yang lain kemungkinan tidak jadi soal (?).
Kita belum berbicara tayangan lainnya. Ini baru satu contoh.
Saya sendiri masih terlalu awam untuk mengetahui sejauh mana
wewenang pengadil tontonan bernama KPI itu. Apakah hanya sebatas sinetron saja,
atau semua tayangan yang kelewat tidak mendidik akan kena tegur. Rasa-rasanya,
goyangan YKS sudah lama berakhir, juga gara-gara KPI.
Sepanjang ingatan saya pula ketika musim kampanye Pemilu
2014 kemarin, beberapa tvnews secara terang-terangan mengadu domba opini publik
dengan cara saling menjatuhkan figur tertentu lewat pemberitaan. Cara yang
vulgar dan bahkan terbaca oleh masyarakat non akademik sekalipun. Ini zona
kekuasaan KPI juga bukan, sih?
Peribahasa KPI menggonggong, sinetron tetap berlalu. Saya
tidak berburuk sangka tentang apa yang akan terjadi pada sinetron di masa
depan. Hitam-putih etika pun selalu diperdebatkan karena bergulir sesuai apa
yang dipahami para manusia di konteks zaman itu. Sinetron berjubah agama yang
alih-alih penyejuk keimanan di tengah carut-marutnya manusia, justru tampil
sebagai momok yang menakut-nakuti orang dengan siksa kubur, apakah itu juga
bisa dikatakan ber-etika dan bebas dari kritik? Entahlah.
Yang pasti ini memang logika bisnis. Dan kepentingan negara
dan kepentingan ekonomi itu hampir selalu bertolak belakang. Negara jalan
terus, bisnis juga jalan, dua subsistem yang kata Niels Mulder, punya logikanya
sendiri-sendiri.
Komentar
Posting Komentar