Lama tidak membuka situs berita online, dan saya cukup
terkejut setengah hidup ketika membaca banyak berita yang aneh-aneh soal
politik belakangan ini. Setelah minggu lalu puas terkaget-kaget dan
terheran-heran soal Indirect Chief of Regional Election (bahasa inggris saya
ternyata masih payah), sekarang ada lagi berita soal ketidakdewasaan elit
politik di Senayan sana yang tumpang tindih dengan banyak berita lain yang
tingkat kemirisan dan kejanggalannya na’udzubillah. Ada apa lagi, Indonesia?
Jika boleh analisis ngawur-ngawuran (artinya bukan analisis
sungguhan), Indonesia kita ini mulai oleng sejak The Smiling General turun
tahta. Apa pasal? Segala bentuk kemapanan, sekalipun itu represif, mulai runtuh
seperti durian runtuh. Kita semua pun masuk ke era baru yang masih membawa
beberapa kebiasaan lama.
Kita semua belum dewasa dalam berpolitik dan bernegara. Itu
saja kesimpulan saya sesimpul-simpulnya saat membaca berita soal anggota dewan
yang gontok-gontokan, ngambek-ngambekan, sampai yang bingung cari palu untuk
mbandem jidat mereka yang ribut. Ah, ralat, buat menenangkan ketidaktenangan
sidang yang inkondusif. Sesekali lah pakai istilah gagah. Enggak masalah, kan?
Iya, itu benar. Kita berbondong-bondong masuk ke era baru,
di mana demokrasi yang dicirikan kebebasan berpendapat, transparansi,
akuntabilitas, dan komunikatif itu masih produk baru. Masih segel dan bau toko.
Mau diapakan ini enaknya?
Dan mau diapakan itu, terima kasih untuk kebebasan,
menandakan juga banyaknya yang memberi tawaran. Saking banyaknya dan bebasnya,
akhirnya kita bingung sendiri. Tapi, untunglah, kebebasan itu masih dalam area
variabel terikat bernama kebutuhan dasar. Seindah apapun gagasan politik yang
bermuara pada kebijakan, tetap harus memperhatikan kebutuhan dasar: sandang,
pangan, papan, dan gadget. Betul tidak, Indonesia?
Belum lagi bila bicara soal kebutuhan dasar itu. Oh ya,
sengaja saya tambahkan gadget, karena belakangan ini banyak gejala orang lebih
memilih gadget ketimbang makan. Aneh, tapi nyata. Di saat kebutuhan dasar belum
terjawab, selalu timbul masalah baru lagi. Dan belum selesai masalah baru itu
terselesaikan, nantinya sudah ada yang lebih baru lagi. Dan seterusnya. Karepe
Indonesia kuwi piye toh.
Dengan berjubelnya persoalan ketimbang solusinya, Indonesia
bagaikan kapal tanpa layar yang sudah bocor di sana-sini. Mau karam tak mau,
mau berlayar juga bagaimana caranya. As if eat simalakama fruit- lah.
Sebagai generasi muda yang bodoh, saya sendiri terkadang
bertanya-tanya: dalam kondisi seribut ini, bagaimana sih kita menerjemahkan
Indonesia hari ini meski dalam satu kalimat saja? Jangan-jangan, seperti yang
disindir Pak Benedict Anderson, Indonesia “hanyalah” sebuah nama untuk
komunitas terbayang supaya bersatu dan enak ditipu. Yang belakangan tambahan
saya sendiri secara semena-mena. Betul sekali, menyedihkan.
Sebab, apa yang menjadi penting bagi kita sering terabaikan
oleh pentingnya apa yang menjadi penting bagi para pembuat kebijakan yang tidak
penting itu. Tidak pentingnya ya itu tadi, soal sedikit-sedikit ribut itu. Mentang-mentang
disorot kamera apa ya jadi biar kelihatan saru. Koreksi: seru…
Di saat mereka ribut soal Pilkadal, palu yang entah terselip
ke mana, walkout seenaknya. Rasa-rasanya belum tuntas hitungan jumlah orang
yang sulit makan. Berapa sih jumlah orang tidak bertempat tinggal. Anak-anak
muda yang putus cita dan cintanya. Kekerasan berbaju agama. Konflik-konflik
laten yang belum terendus para peneliti. Korup di sana-sini. Dan yang terakhir,
juga masih menyisakan para generasi alay tak hafal pancasila, yang suka
gombal-gombalan tidak penting untuk di-update ke status sosmed seperti: kamu
kayak presiden kita yah, citramu selalu indah di mataku atau biarlah elit
senayan walkout dari sidang, asal kamu jangan walkout dari hatiku …Ppffftt…what
the….??
Komentar
Posting Komentar