Bicara soal perasaan, tidak ada
yang lebih kompleks selain pergulatan batin manusia modern. Tekanan pekerjaan,
biaya hidup, urusan asmara yang serba galau, dan semakin rumit sistem sosial,
urusan perasaan boleh jadi bertambah runyam.
Perasaan pengap yang mengendap
itu tidak menyehatkan karena berimplikasi pada mandulnya siklus produksi –
konsumsi - reproduksi. Manusia modern dituntut untuk selalu segar bugar
menghadapi tantangan hidup agar siklus tersebut tidak berhenti di tengah hari.
Namun, memperhatikan kesehatan psikis juga tak kalah pentingnya.
Pelesir merupakan salah satu
jawaban terbaik untuk menyegarkan kembali perasaan yang kacau. Sayangnya, tidak
semua lapisan masyarakat mampu berplesir atau mau berpelesir. Di satu sisi,
hati manusia terus berkecamuk, sementara di sisi lainnya tuntutan hidup
terus-menerus minta dipenuhi. Nanti makan apa kalau memelihara kerisauan?
Mau risau boleh saja, tapi kalau
bisa tidak memboroskan waktu dan biaya. Maka, kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi kiranya medium yang tepat bagi itu semua. Diciptakanlah berbagai
macam “dinding ratapan” sebagai penyalur stres atau tempat sampah beban hidup: Facebook,
Twitter, dan masih banyak lagi lainnya. Lumayan untuk mengurangi tekanan batin,
karena jika tidak dilampiaskan, emosi akan menggumpal dan berpotensi merusak
organ tubuh lainnya.
Terlebih, sekarang berbagai alat
komunikasi sudah berevolusi menjadi smartphone
yang bahkan sanggup bertukar “ratapan” antar pengguna dimanapun dan
kapanpun selama tersambung jaringan internet. Hebatnya lagi, real time, singkat, dan jelas. Bahkan,
mampu menyaingi kecepatan jurnalis yang mempublikasikan sebuah berita di
internet.
Jaringan internet akhirnya dibuat
semakin cepat melesat. Mulai 1G, 2G, 3G, sampai yang paling mutakhir adalah 4G,
dimana pengguna tidak sekedar menyampaikan uneg-unegnya dalam bentuk teks
belaka, melainkan sudah berformat audiovisual layaknya tayangan televisi.
Sekali di-upload, langsung bisa di-download tanpa memboroskan waktu lagi.
Kapitalis-kapitalis teknologi
informasi berlomba-lomba membuat produk yang canggih dan disesuaikan dengan
kebutuhan serta kantong pelanggannya. Istilahnya ada harga ada rupa. Para
pengguna juga tak mau kalah dengan ikut berkompetisi menciptakan ungkapan perasaan
terbaik. Sampai-sampai dibikinlah sayembara berhadiah untuk mencari ungkapan
perasaan dalam format digital terbaik. Segalanya semakin cepat.
Perekonomian negara kini
dikabarkan membaik. Indikatornya ditunjukkan dengan data-data konsumsi produk
teknologi smartphone yang terus
melonjak. Artinya, masyarakat semakin cerdas karena sanggup membeli dan
mengoperasikan ponsel cerdas. Negara lega, investor-investor untung besar. Inovasi
perasaan digital akhirnya ditambah untuk mencari peluang-peluang pasar baru.
Mode produksi dan konsumsi yang
terus-menerus seperti ini akan menggiring manusia ke dalam era digital feelings, yakni zaman ketika
manusia mengungkapkan perasaannya dalam format digital dan menggantikan
manifestasi-manifestasi fisik.
Contohnya seperti salah satu
iklan aplikasi ponsel pintar yang sering ditayangkan televisi. Saat kekasih
anda sakit, anda tidak harus datang menjenguknya. Tunjukkan empati anda
kepadanya melalui animasi-animasi bergerak yang mengekspresikan sedih. Lalu kirimkan
sebuah lagu atau gambar bunga untuk menghiburnya. Kendala-kendala fisiologis seperti
jarak, waktu, dan biaya, sudah teratasi.
Implikasinya bisa merambah ke
ranah yang lebih luas. Kesal dengan politisi yang tak becus, bisa langsung
mengkritik tanpa berkoar-koar sampai membusa di depan megafon. Marah atas pelayanan
kantor-kantor pemerintah yang lamban bisa dikuliti sampai tuntas tanpa harus mengantri
untuk dimuat oleh surat kabar. Sedang merasa religius? Berdoa saja di akun
Facebook atau Twitter, pasti banyak yang akan mengamini.Tidak perlu banyak
berpikir.
Meminjam kritik Mark Poster (1995),
merebaknya fenomena ini menandai adanya pergeseran dalam penghayatan manusia
terhadap bahasa, terutama yang menyangkut bagaimana manusia mengungkapkan perasaannya
sendiri. Perasaan tereduksi menjadi sekumpulan data-data dan representasi
menjadi bahasa tersendiri.
Berbagai abjad tidak lagi
terangkai menjadi kumpulan kalimat, tetapi hadir dalam bentuknya yang baru dan
mampu merangkum semua perasaan, tanpa berpanjang lebar membicarakannya satu
persatu. Stiker-stiker animasi, emoticon, dan kumpulan piksel saja sudah
dianggap cukup mewakili apa kata hati. Sekali lagi, sesuai dengan atmosfer
modernisme. Segala sesuatu harus ringkas termasuk bahasa perasaan. Kalau bisa
bentuknya digital saja agar mudah dibawa dan dibagi kemana-mana.
Hidup secara digital serta merta
menggantikan budaya dialog dan penginderaan fisik. Bahkan, representasi atau
proses menghadirkan diri kembali melalui bentuk lain (data), bisa jadi mengalahkan
kehadiran itu sendiri. Dengan kata lain, saat anda online, itulah saat-saat anda hadir bagi orang di sekitar anda.
Sebaliknya, status offline
menunjukkan anda sedang tidak ada bersama mereka.
Era digital tidak bisa dihindari. Bagaimanapun,
teknologi di sisi lain menyisakan manfaat yang nyata. Kekasih, keluarga, teman,
atau rekan kerja yang terpisah oleh batasan geografis bisa saling memahami
perasaan meski tidak bertatap muka. Namun masih ada banyak hal tentang perasaan
yang tidak bisa dimediasi secara digital. Sentuhan, ciuman, air mata, bisa
direpresentasikan ke dalam bahasa visual, tetapi sulit dikirimkan lewat
pemancar manapun.
Teknologi
juga problematis manakala tidak sanggup memberikan jawaban atas berbagai dampak
sosiokultural seperti perasaan terasing dengan lingkungan karena lebih asyik
berinteraksi dengan gadget. Belum
lagi bicara mengenai emosi-emosi artifisial (buatan) yang mulai memanipulasi
kesadaran, sehingga terkadang membuat kita bertanya-tanya: itu perasaan
sebenarnya atau olok-olok belaka?
Komentar
Posting Komentar