Enaknya Langsung Atau Tidak Langsung?



Dalam beberapa hari terakhir ini, tidak ada hujan tidak ada petir, tiba-tiba saja semua media dijejali perdebatan Pemilukada Langsung dan Tidak Langsung. Saya pribadi, tidak mau repot-repot memberikan analisis. Toh, sudah banyak pakar yang lebih pandai di bidang itu. Kalau boleh sih, urun pendapat saja.

Jadi, secara sederhana begini saya mencoba memahami inti permasalahannya. Pemilukada Langsung itu berarti melibatkan jutaan warga Indonesia untuk memilih Kepala Daerah kampung halaman masing-masing dari balik bilik suara. Sementara, yang satunya lagi, yakni Pemilukada Tidak Langsung berarti suara kita semua sudah terwakili oleh anggota legislatif yang sudah kita pilih dalam Pemilu Legislatif. Dan yang menjadi pokok perdebatan adalah, yang mana yang lebih demokratis?

Demokrasi itu sendiri, kalau boleh ngulik ucapannya Presiden Abraham Lincoln, berarti dari, oleh, dan untuk rakyat. Terkadang, satu definisi ini kemudian dipelintir artinya sehingga bermakna Pemilihan Umum oleh, dari, dan untuk rakyat. Entah siapa yang pertama kali melintir. Jangan tanya saya.

Tetapi, yang menjadi kegelisahan saya adalah, apakah kedua opsi ini sama-sama mencerminkan demokrasi? 

Ketakutan sebagian kalangan bahwa pemilu tidak langsung itu nantinya mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dan ditambahi alasan mencederai konstitusi. Bentuk ketakutan itu semisal, kalau yang memilih anggota dewan, maka uang suap lebih mudah diorganisir. Ada lagi misalnya, suara yang memenangkan Pemilukada Tak Langsung itu bukanlah suara rakyat, melainkan suara perwakilan partai. Ada juga yang mengatakan kita bakal kembali ke Zaman Dinosaurus, salah, maksud saya Orde Baru. 

Lagi-lagi klaim-klaim itu pun bisa kita pertanyakan lebih jauh. Lho, memangnya kalau Pemilu Langsung itu bakal lebih menjamin tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan bersih dari pelanggaran konstitusi? Konstitusi yang sebelah mana sih yang dimaksud? Maklum, tidak hafal pasal. 

Ini diskusi yang tidak akan ada habisnya. Namun, kita semua sudah melihat hasilnya: Ijab Kabul Pemilukada Tidak Langsung, Tok Tok, Ketok Palu, Sah. Jadi, bagaimana dong nasib demokratisasi di negara ini nantinya? 

Tentu saja saya sulit memprediksi. Lha wong tukang ramal semacam Ki Joko Bodho saja belum memberi statemen apapun untuk meramal nasib bangsa Indonesia jika Pemilukada Tak Langsung diselenggarakan. Apalagi saya yang tidak punya bakat ramal-meramal.

Sebelum kita semua terburu-buru menuduh macam-macam terhadap dua sistem pemilihan yang tak berdosa ini, mungkin ada baiknya kita sedikit menelisik lebih jauh lagi soal demokrasi di Indonesia. Sudah pernah tercapai atau masih butuh perjuangan?

Saya pernah mendiskusikannya bersama teman-teman dan cari info kanan-kiri juga. Iklim politik yang demokratis pada dasarnya mensyaratkan beberapa hal. 

Pertama, berpolitik yang rasional dan meminimalisir emosional. Untuk usia iklim politik demokratis, kita sebenarnya masih dalam tahap belajar. Kalau tidak percaya, coba sebutkan alasan mengapa sampean memilih salah satu capres dalam Pemilu kemarin? Karena ganteng? Karena kesannya merakyat? Karena terlihat pintar? Karena gaya bicaranya tegas? Kalau boleh menilai, alasan-alasan ini menandakan kita masih terlampau emosional saat memilih. Ganteng, pinter, dan kelihatan tegas itu alasan emosional. Belum seberapa rasional.    

Alasan rasional bukanlah soal figur semata, tetapi juga menyangkut seberapa tinggi kita melek informasi tentang bakal calon pemimpin kita, visi-misi politiknya, dan daya tawar-menawar kita sebagai konstituen terhadap tawaran isu yang diusung representatif. Bukan karena mentang-mentang pacar pilih A, terus sampean ikutan pilih A. itu namanya seia sekata setia sehidup semati. Eeh.. Lanjut…

Kedua, seberapa tinggi sih akses kita terhadap representatif kita? Baik itu yang kongkow di legislatif, kepala suku, eh kepala daerah, maupun pak persiden? Bagaimana iklim komunikasi kita dengan para beliau itu? Demokrasi, kata teman pakdhe saya yang bernama Jurgen Habermas, ditandai dengan keberhasilan komunikasi antara representatif dan konstituen yang merujuk pada ideologi “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”

Lah ini, kita nyapa saja tidak pernah. Mereka juga menyapa kita 5 tahun sekali. Setelah itu, urusan sendiri-sendiri. Macam mana mau demokrasi? Ngimpi…  

Dan mungkin masih ada berbagai prakondisi dan prasyarat lain yang menandakan kita sudah berdemokrasi, baik itu Pemilukada Langsung atau via sms, maksudnya lewat legislatif. Saya tuliskan dua saja karena ngertinya baru itu. 

Dan terkadang pula, kalau sudah kelewat mumet bin njelimet, persoalan biasanya lebih mudah dipahami lewat analogi atau contoh kasus. Pemilukada Langsung-Tidak Langsung itu ibarat memilih jodoh. Buat yang jomblo pasti suka analogi model beginian. Ah, malah mem-bully jomblo. Tak usah di-bully pun mereka sudah renta di usia muda dan meradang dalam kegelapan. Lanjut ya.

Jodoh memang di tangan tuhan, tetapi melalui perantara opsi-opsi yang dibuat manusia. Artinya, sampean maunya milih jodohnya langsung, yaitu sampean tentukan sendiri, ganteng-tidaknya, cantik-enggaknya, lalu biarkan ia duduk di singgasana hatinya sampean (asek), tetapi resiko di belakang hari harap ditanggung sendiri. Masa ditanggung tetangga? Kan sampean sendiri yang milih…

Oke, yang kedua, jodohnya sampean diatur dan dipilihkan sama pihak ketiga. Bisa berarti orang tua, atau biro jodoh. Nah yang ini sampean tidak bisa menentukan sendiri karena kebebasan untuk itu di tangan pihak ketiga. Soal resiko? Tentu saja juga ditanggung sendiri..salah sendiri kok sampean mau-maunya diatur-atur?? Hehe…
 
Namun, para sedulurku, sebelum saya pamit, ada satu hal yang jujur saja teramat saya sesalkan. Mengapa dalam sidang yang lalu tidak ada semacam proses istikharah bersama-sama, minta petunjuk dari Yang Maha Kuasa bareng-bareng, atau mengheningkan jiwa-raga, membersihkan hati-pikiran dari nafsu duniawi dulu, sebelum akhirnya mengetok palu? Kenapa tidak ada? Kan cari “jodoh” itu, entah dalam bentuk kebijakan politik atau pasangan hidup, sudah semestinya minta petunjuk Tuhan? Ataukah jangan-jangan manusia sudah tidak lagi butuh petunjuk Tuhan untuk menentukan sikap? Embuh, lah…saya pamit..wassalam…

Komentar

  1. wkwkwk...se7 cak. Iki manusia udh ngandalin diri, kayak udah hebat ja. Mustinya tanya yg Kuasa lah haha...

    BalasHapus

Posting Komentar