Lying Bastard!



I always ask myself, “Why is this lying bastard, lying to me?” (Jeremy Paxman)
How do you tell when a politician is lying? When you see his lips moving?(Stand Up Comedy)

Siapa yang sepakat 11 dari 10 orang politisi itu penipu? Angkat jarinya sekarang. Yak, bagus, bagus. Kesimpulan aneh dan ajaib ini saya sadari seusai membahas sebuah artikel berjudul “” bersama dua orang teman saya. 

Kamu tahu tidak? Rasanya cukup seru mendapati seorang intelektual yang uring-uringan dengan kenyataan pahit yang ia hadapi. Ia tak berdaya melawan itu semua meski ia bersekutu dengan ribuan buku-buku atau pemikir-pemikir lainnya. Namun, sinyal di otaknya tak bisa diajak berdamai. Ia harus melawan. Ia terus melawan melalui tulisan, walaupun nantinya akan secara ogah-ogahan dibaca oleh pembaca murahan sekelas saya.
Pada mulanya memang suntuk berat. Pasalnya artikel itu ditulis dalam bahasa inggris, sementara bahasa indonesia saja dulu saya berkali-kali remidi. Ditambah topiknya yang cukup membuat satu porsi hidangan makan malam di perut terbakar lebih cepat. Ialah soal politik dan demokrasi. Makanan apalagi ini? Baiklah begini ceritanya.
Judul artikel itu cukup sensasional, “Too Much of a Good Thing: The Problem of Political Communications in Mass Media Democracy,” yang disusun oleh Ivor Gaber dan ditulis dengan gaya penulisan favorit saya, yaitu bercerita (naratif). Jadi, pembaca serasa membaca cerpen meski tulisan panjang itu isinya data-data dan teori semua. Search saja lewat google scholar kalau ingin ikutan membaca.
Mungkin Gaber jengkel berat dengan pemerintahnya saat menulis artikel tersebut. Lha bagaimana tidak? Isi berita yang dilansir pemerintah  kok positif semua. Saking banyaknya berita positif, wajar Gaber curiga, jangan-jangan ini semua akal bulus pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Tapi, tunggu dulu. Sebenarnya apa yang dimaksud berita positif itu? Kalau membaca tulisan Gaber, berita positif adalah berita-berita yang isinya menonjolkan subyek atau pihak tertentu cenderung baik-baik, nyaris tanpa cela. Mirip karakter superhero begitulah.
Berita memang ditulis dengan kaidah standar jurnalistik, mulai teknik 5W+1H, format piramida terbalik, terjungkal, dan sebagainya. Masalahnya ada pada sudut pandang si penulis berita itu. Seumpama dia menulis yang baik-baik melulu tentang jalannya pemerintahan, pasti bisa diduga dia ada di pihak pemerintah. Celakanya, bila masyarakat yang masih tergolong awam (kayak saya) keseringan membaca berita semacam itu, bukan tidak mungkin akan kehilangan nalar kritis untuk mengawal proses pemerintahan.
Bukan berarti kita berada di pihak oposan atau musuhan sama pemerintah. Bukan. Namun, coba sobat sekalian membayangkan, apa yang terjadi apabila tindak korupsi dibenarkan oleh semua lapisan masyarakat, sementara uang itu milik rakyat yang diperoleh dari hasil kerja keras banting tulang peras keringat bermandikan keringat dan air mata? Bagaimana? Terima? Jelas tidak dong.
Sebenarnya Gaber hanya ingin menunjukkan pada para pembaca, berhati-hatilah dengan segala pemberitaan positif. Siapa tau di balik itu, banyak hal-hal yang luput dari perhatian kita. Maka, benar apa kata Bang Napi, waspadalah, waspadalah!

Komentar