Membaca Multatuli, Lucu atau Ironis?

“Sebuah tulisan mungkin tidak bisa mengubah dunia, tetapi merusak pikiran tentang dunia” 
(Menemukan quotes setelah semedi beberapa hari)

Lama tak membaca, maka saya putuskan untuk membaca meski sebentar. Acak saja, saya mengambil sebuah buku dari suatu sudut rak. Buku itu lusuh berdebu dan terlihat sudah sangat usang. Lusuh berdebu karena saya jarang bersih-bersih rak buku, usang karena itu memang terbitan lama yang dipinjamkan seorang teman dan belum juga saya kembalikan. Mungkin nanti kalau sudah ingat, atau lebih baik pura-pura tidak ingat saja biar itu jadi hak milik pribadi. Licik. Saya tahu buku itu sejak duduk di bangku SD dulu, tepatnya pada pelajaran Bahasa Indonesia, tapi baru sekaranglah diberi kesempatan membuka sampulnya.


Saya tak hendak memberi komentar ilmiah apapun tentang buku itu. Saya hanya ingin berbagi kesan. Berbagi kesan kan tidak mesti ilmiah. Bisa makin kurus badan saya nanti. Judulnya “Max Havelaar”, ditulis oleh Multatuli. Sudah cetakan yang kesembilan tahun 2005, diterjemahkan secara ‘solide’ oleh H.B. Jassin. Saya sering berpikir, kenapa sih buku-buku sosialis hampir selalu serius? Bukankah kerakyatan itu adalah hal-hal yang tidak membuatmu berkerut kening? Mungkin keluhan saya ini disebabkan tiga hal. Pertama, otak saya tidak cukup mampu meng-handle pemikiran-pemikiran mereka yang beratnya seberat truk kontainer itu. Kedua, mungkin sense of humour antara saya dan pemikir-pemikir itu berbeda jauh bagaikan langit dan sumur bor. Ketiga, humor saya mungkin kelas ekonomi, artinya murah meriah sajalah, yang penting bisa ketawa. Ketiganya benar semua.

Tapi sumpah mati saya dibikin ketawa oleh Multatuli. Tolong jangan salah artikan dulu, bukan maksud untuk mengejek tulisannya, tapi cara pengungkapannya yang saya rasa berbeda dengan pemikir sosial lainnya yang pernah saya baca. Itu yang saya suka. Berbeda dengan orang-orang sebangsanya pada zaman kolonial dahulu kala, dengan cerdasya bule keren ini membela masyarakat Jawa yang ditindas secara semena-mena melalui tulisannya.

 Kalau kita perhatikan, ia banyak sekali menulis catatan yang menggelitik saraf pembacanya. Semisal ejekannya: "Dan bukan hanya sajak-sajak yang menggoda anak-anak muda untuk membohong; cobalah masuk Gedung Komidi, dan dengarkan segala macam dusta yang dijual kepada publik. Pahlawan dalam cerita diangkat dari air oleh seseorang yang hampir bangkrut. Lalu ia memberikan separoh kekayaannya: itu tidak mungkin benar….saya yang cinta kebenaran, memberitahu kepada setiap orang, bahwa saya tidak mau membayar upah begitu tinggi untuk mengangkat tubuh saya dari air." (Nah, apalagi sampai memberi separoh kekayaan?)

 Ejekan lainnya: "Ya, banyak yang rusak gara-gara sandiwara itu; lebih banyak dari orang yang rusak karena roman…bahkan apabila hendak mempertunjukkan kemiskinan, pertunjukan itu selalu dusta. Seorang gadis yang ayahnya jatuh bangkrut, bekerja untuk menolong keluarga; baiklah. Nampaklah ia menjahit, merajut, atau menyulam. Tapi cobalah hitung berapa kali ia menusuk, selama seluruh babak. Ia berbicara, mengeluh, berjalan ke jendela, tapi tidak bekerja. Keluarga yang bisa hidup dengan pekerjaannya itu tidak banyak keperluannya…jadi dia melambangkan kebaikan. Kebaikan apakah itu….bukankah itu memberikan gambaran palsu tentang kebaikan dan “bekerja mencari nafkah?”… maka datanglah kekasihnya yang pertama, yang dulu bekerja sebagai klerk penyalin surat surat – tapi sekarang kaya raya – tiba-tiba kembali dan mengawininya. Bohong lagi." (Praktis sekali, seperti mie instan)

Sekilas saya seperti teringat lelaki tokoh utama salah satu sinetron yang ceritanya mirip dengan ejekan Multatuli. Awalnya ia melarat, hidupnya ditindas, cinta selalu kandas, dan tiba-tiba sim salabim! Datang mobil orang kaya nyerempet dirinya. Ternyata itu adalah bapak kandungnya yang terpisah sekian lama. Bapak itu hampir mati, meninggalkan wasiat hartanya yang seabrek. Dan dari kehidupan yang sia-sia, berubahlah menjadi semulus pipi Asmirandah. Lebih menjengkelkan lagi, perempuan yang menolak cintanya langsung jatuh hati dengan alasan cinta mati (setelah si lelaki jadi perlente). Itulah arti protagonis versi Indonesia. Cerita pun bubar. Penonton lega. Produsen girang. Film laris manis. Teriak batin saya,”Sutradara kurang ajar!”

 Sementara kita simpan umpat-umpat itu untuk nanti. Multatuli tidak hanya menulis humor-humor yang sangat ironis itu. Ia juga mengajak kita untuk berpikir sederhana tanpa kehilangan – bahasa kerennya – sense of social being, menjadi sosialis tanpa berkoar-koar diri “aku ini makhluk sosial, lho!” Apalagi sampai lewat megafon dan media massa. Tapi, tunggu sebentar, Multatuli itu lucu atau ironis? Penilaian yang haqqul yakin akan saya paparkan nanti setelah tuntas ini buku. Soalnya baru membaca bagian pertama. Maaf…

Komentar