Prediksi Wacana : Dari Jayabaya hingga Posmodern


Siapa tokoh yang kita jadikan rujukan saat bicara soal masa depan dunia? Marx dengan Materialisme dialektikanya, mungkin Fukuyama dengan kemenangan kapitalisme, bisa jadi Alvin Toffler dengan masa depan suram dunia ketiga, atau John Naisbith dengan jaring-jaring informasi?. Ya, mereka semua memang brilian, namun semua prediksinya baru terbit sekitar dua dekade kemarin, dan dugaan mereka hanya dibangun dari wilayah akademis. Di sinilah penulis terilhami, prediksi masa depan ternyata sudah dibangun jauh sebelum ada institusionalisasi akademis. Memang tak perlu kuliah dan membaca buku, dengan ‘semedi’ dan memperkuat keteguhan hati, begitulah cara orang dulu mendapat pengetahuan. Siapa orang yang saya maksud? Dialah Prabu Jayabaya, pujangga nusantara yang prediksi dan ramalannya bisa jadi sangat relevan untuk kita jadikan rujukan dewasa ini.

Menarik ketika membaca ramalan tanda-tanda zaman oleh Prabu Jayabaya. Secara tepat, ia mengungkapkan berbagai kejadian di masa depan. Sebagian besar ramalan Jayabaya bertutur tentang kerusakan-kerusakan alam dan sosial. Bagi pembaca yang tidak banyak tahu menahu siapa Jayabaya, yang jelas ia bukanlah sosiolog terkemuka maupun ahli patologi sosial. Ia “hanya” seorang raja di Kerajaan Kediri yang hidup di tahun 1135-1157 Masehi[i].
Prediksi-prediksi wacana Jayabaya jauh melampaui zamannya. Ini aneh dan tidak masuk akal di zaman internet dan facebook seperti sekarang. Memang sulit dipercaya, tetapi ramalannya benar-benar terjadi. Pada masa hidupnya, satelit dan gelombang radio belum ada. Seperangkat metodologi untuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam juga belum populer. Masyarakat nusantara saat itu hanya membaca tanda-tanda tertentu yang ditunjukkan alam diikuti serangkaian laku batin. Boleh dikatakan, ramalan Jayabaya adalah “semiotika deduktif” khas nusantara. Praktek-praktek Jayabaya ini berkebalikan 180 derajat dibandingkan beberapa abad setelahnya.
Jauh sebelum dua kiblat besar ilmu pengetahuan, Jerman dan Prancis menganalisis dan menafsirkan wacana-wacana yang tengah berlangsung, Jayabaya sudah meramalkannya. Terutama untuk kondisi-kondisi yang terjadi di Indonesia. Di antara beberapa ramalannya yang terkenal adalah mengungkap jangka jangkaning jaman, yang berbicara tentang zaman yang serba terbalik-balik, orang berani melanggar sumpahnya sendiri (persis seperti janji-janji para pejabat yang kampanye). Ke dua ramalannya tentang owah gingsire jaman[ii]. Hukum agama dilanggar, nilai-nilai kebaikan lokal diabaikan. Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga berlaku di berbagai belahan dunia lain.
Bagi masyarakat nusantara, ramalan Jayabaya ini dianggap sakral, karenanya dianggap penting dan terpercaya[iii]. Namun bagi anda yang sudah terlanjur mengikuti tradisi ala barat, tentunya kita perlu dukungan bukti-bukti. Sederhana saja, cukup anda menyimak pemberitaan di berbagai media massa. Mayoritas tak ada berita baik. Dan berita-berita tak baik inilah nilai beritanya meskipun Luwi Ishwara menerbitkan buku Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar sebagai pledoi atas tuduhan ini[iv]. Fakta tetap berbicara sebaliknya. Toh itu cuma hitam di atas putih.    
Selama ini kita cenderung menggunakan pola-pola induktif untuk mengetahui segala sesuatu. Ada gejala-gejala tertentu dulu, baru bisa ditarik kesimpulan sedang terjadi apa dan bagaimana. Kesimpulan-kesimpulan itu harus melewati sistematika khusus dulu. Diuji coba, diverifikasi, setelah terbukti kebenarannya, lantas boleh menyimpulkan. Kesimpulan dari penelitian kemudian bisa menjadi sebuah teori utuh yang menjadi pegangan atau prediksi fenomena-fenomena sejenis. Ini hal yang umum di ranah penelitian kualitatif, kuantitatif, maupun format penelitian lainnya.
Di Jerman yang konon merupakan pusat kajian ilmu-ilmu sosial menerapkan metode induktif ini. Sejak era Karl Marx dengan filsafat “materialisme dialektika”nya sampai Jurgen Habermas dengan teori “tindakan komunikatif”nya. Mereka baru bisa merumuskan sebuah teori setelah mengkaji gejala-gejala sosial yang ditemui di lapangan. Akar filsafat Marx adalah kritik atas dialektika “langit” nya Hegel. Sedangkan teori Habermas bermula dari keresahan terhadap penjajahan ruang publik[v]. Hal yang sama menimpa para pemikir dari Perancis. Ambillah contoh, Michel Foucault dan tesisnya yang terkenal, Madness and Civilization. Tesis ini berangkat dari tinjauan tentang renaissans dan diakhiri dengan perubahan pada zaman klasik (periode abad 17 dan 18) [vi].
Percaya atau tidak, meyakini atau tidak, itu semua tergantung pada anda. Tinggal bagaimana anda menyikapi dengan bijak dan benar. Bukan berdasar pada hawa nafsu semata. Silahkan dicermati jika berminat.


[i] Sindung Marwoto, Ramalan Prabu Jayabaya : Mengungkap Tanda-Tanda Zaman,2008,hal.3
[ii] Lihat Sindung Marwoto, op cit. hal. 109-122 dan hal. 139-153
[iii] Mirea Eliade, Sakral dan Profan, 2002, hal. 13
[iv] Lihat Luwi Ishwara, Catatan Jurnalisme Dasar, 2007
[v] K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, 2002
[vi] Ibid, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, 2006, hal.335-340

Komentar