Akhirnya Dimuat Juga....

Menjadi wartawan itu cukup menyenangkan. Selain banyak terlibat langsung dengan berbagai peristiwa, kita akan bertemu dengan orang-orang dengan berbagai latar belakang berbeda. Selain itu, melatih kepekaan dan intuisi kita. Jadi, tiap jalan sedikit, mata akan awas terhadap peristiwa terkecil sekalipun. Memang tidak mudah dan sedikit orang yang mau mendedikasikan hidupnya menjadi 'kuli tinta.'



Saya sempat mencicipi pahit-manisnya menjadi wartawan, walaupun sebatas magang selama dua bulan. Sebenarnya itu merupakan bagian dari persyaratan akademik. Di tempat kuliah saya, mahasiswa wajib magang di sebuah perusahaan, khususnya yang bergerak di bidang komunikasi dan media menjelang semester akhir. Kalau tidak magang, tentu mahasiswa bakal lama mengenakan toga.

Pilihan saya jatuh pada Detikcom. Saya pikir, format penulisan media online tidak sesulit media cetak atau media penyiaran seperti tv dan radio. Di samping itu, saya mengandalkan salah seorang dosen yang mengajar mata kuliah jurnalistik media online dan beliau kebetulan wartawan detik juga. Namun, perkiraan saya salah total. Sebenarnya, tidak pandang dari media manapun, hunting berita tetap saja butuh kerja ekstra keras.

Area peliputannya pun tidak jauh-jauh. Hanya Yogyakarta dan sekitarnya saja. Waktu itu, isu yang tengah marak adalah mengenai perdebatan keistimewaan daerah Yogyakarta. Jalanan sesak dengan spanduk-spanduk yang menyatakan siap sedia mendukung penetapan Yogyakarta dan ijab kabul beberapa tahun silam. Saya yang masuk di tengah-tengah peristiwa tak begitu mengenal secara mendalam. Akibatnya, berita yang saya tulis pun sebatas mengabarkan peristiwa demonstrasi saja.

Karena begitu dangkal, jelas berita yang saya tulis tak bisa dimuat. Dosen sekaligus pembimbing saya selama magang berulang kali mengoreksi dan mengkritik tulisan saya. Berulang kali saya harus mengelus dada dan menyadari kekurangan-kekurangan itu. Ya kan, tiap kritik dan saran itu selalu pahit rasanya di hati. Namun, penting agar kita mampu menyempurnakan bagian yang kurang asik dari diri kita.

Bulan terakhir saya magang jatuh pada Ramadhan. Panas dan haus menyergap, tapi tugas tetap harus dijalankan. Sebagai anak magang, naif kalau saya mencari upah. Ketika itu, saya penasaran bagaimana caranya agar berita yang saya tulis itu dinaikkan oleh redaktur. Bagaimanapun, eksistensi itu penting untuk mahasiswa dengan kapasitas intelektual yang bisa dibilang jauh dari standar seperti saya..

Akhirnya, saat itu datang juga. Saya ditugaskan untuk meliput peristiwa yang khas Ramadhan. Mulai dari penulisan masjid-masjid kuno yang memang banyak dijumpai di kota klasik seperti Yogyakarta sampai pasar sore Ramadhan.

Memang tak banyak yang bisa ditulis. Saya cukup memotretnya, memoles agar tampak berkilau dilihat melalui software image editing, lalu dikirim ke meja redaksi dengan bumbu narasi singkat. Hasilnya lumayan. Sms dengan bunyi inilah yang saya tunggu-tunggu sejak awal terjun ke dunia wartawan: "Beritamu naik di detik photo. Coba dicek aja," demikian pesan singkat dari pembimbing lapangan.

Kontan saya yang baru bangun tidur sedikit terlonjak girang. Wow, benarkah? Sedikit tak percaya, saya cek di situs yang bersangkutan. Eh, ternyata benar. Foto berita itu naik juga. Dan inilah wujudnya....






Komentar