Sajak Setangkai Sunyi

Jarang sekali saya share sajak-sajak saya di dunia maya. Namun, kali ini edisi spesial. Tersentuh oleh kelembutan bulan suci, maka dengan penuh tawaddu dan segenap rasa syukur, maka saya persembahkan sajak sederhana ini. Semoga berkesan

Sajak Setangkai Sunyi*

Dalam pengembaraan menuju batas akal, aku menemukanmu, setangkai sunyi. Berdiri acuh seakan menunggu.
Sekuntum wajahmu itu, adalah pesona yang membiaskan pikat. Maka, takdir hari ini pun seperti terikat..
Matahari dengan hati-hati menyorongkan cahayanya padamu. Entah terlalu takut panasnya melukaimu, atau tubuhmu akan gigilkan dingin bila sinar itu tak menyentuhmu..
Sementara angin lupa pada tugasnya menghalau ombak. Angin lebih suka nembang lagu sumilir di sampingmu daripada kawin dengan layar nelayan. Setia menunggu sepasang kelopak indah yang terlelap. Meniupkan mimpi-mimpi yang manis, sambil berzikir namamu, namamu..
Alangkah berat memikul duka, seraya terpukauku..
Betapa nanarnya meremang doa, keluh peluhku.
Setangkai sunyi, mestinya kecantikanmu yang kucari selama ini. namun ke mana dayaku, ketika keberanian harus berhadapan dengan tegur sapa? Hanya ingatan, kusimpan di saku celana, untuk kukenang-kenangkan sambil merajut usia.
Jiwa ini melolong panjang. Menumpahkan luap pinta di dada rembulan**.Tanyakanlah arti kedewasaan, manis. Mungkin terjawab seperti rengekan kecil manja seorang bocah yang direbut mainannya.
Namun, kau diam. Menikmati beberapa awan yang kebetulan lewat dan menyapa. Atau takjub pada kupu-kupu yang entah kenapa selalu berwarna-warni, anugerah yang tak pernah diminta sejak masih ruh.
Kau masih diam. Bertanya-tanya sendiri. Mengapa laut tidak pernah sampai ke mari? Mengapa puncak gunung selalu terlihat lebih jauh untuk didaki? Mengapa ada waktu? Mengapa tuhan harus menciptakanmu sebagai setangkai sunyi yang cantik, yang terlalu mewah untuk disandingkan dengan darah?
Aku masih harus melanjutkan ke mana huruf-huruf kehidupan mesti digoreskan. Masih ada bilangan berjuta-juta untuk waktuku. Masih ada lorong panjang dan gelap di depan mata. Masih ada sekian perjalanan. Sekian petualangan yang mesti ditaklukkan. Masih ada jutaan dewa yang harus ditantang***.


*dari cerpen Agus Noor, Setangkai Sunyi
**dari sajak "Wanita Cantik Sekali di Multazam"
***dari sajak WS.Rendra, "Sajak Seorang Tua untuk Istrinya"

Komentar

Posting Komentar