Berhenti Belajar, Ketakutan yang Sebenarnya


Ini sesat. Itu sesat. Pada dasarnya menyesat-nyesatkan pandangan orang lain, adalah kesesatan itu sendiri. Meski dalam bingkai ilmu-ilmu positif sekalipun, tidak ada kebenaran mutlak. Bahkan, dua puluh dua per tujuh atau tiga koma empat belas atau lebih populer dengan sebutan bilangan phi saja bukanlah angka pasti. Bilangan yang hampir di luar nalar ini tentu dimaksudkan untuk mempermudah perkiraan kita mengukur jari-jari lingkaran.

Nah, dalam kesempatan ini, saya tidak sedang mencurahkan perasaan tentang ilmu-ilmu positif. Di samping tidak seberapa ahli, pastinya hasil sinau panjenengan semua lebih joss daripada saya. Saya hanya ingin sedikit berbagi sedikit pertanyaan : Mengapa ada juga orang yang memiliki hobi menuding-nuding sesat?
Di dunia akademis, pendekatan demikian tentu tidak sehat. Tingkat kesahihan sebuah temuan tidak diukur dari seberapa sesatnya dia berbicara. Tidak. Sebuah opini, tesis, atau teori, dibangun berdasarkan argumen-argumen yang kuat, rasional, dan bisa dipertanggung jawabkan, secara personal maupun profesional.
Saya tidak perlu menyebutkan contoh karena terlalu banyak bertebaran di berbagai media berita-berita tentang ini-itu yang dianggap sesat, siapa-siapa yang menuding sesat, dan apa-apa yang menanggung rasa merana akibat kesesatan hasil tudingan sesat itu.
Rupanya kita telah melupakan satu hal, yakni dialog. Dialog yang sehat, berarti memposisikan diri kita dan lawan bicara sebagai dua entitas yang setara, tidak ada yang lebih atas atau bawah. Sebab, kita datang dengan bekal perspektif berbeda. Dialog, satu-satunya jembatan bagi kita untuk mempertemukan cakrawala kita dan lawan bicara. Kalau belum apa-apa sudah ada rambu : itu sesat! Sudah, dialog mati.
Menurut pribadi saya, jalan menuju kebenaran sejati saya analogikan seperti naik-naik ke puncak gunung. Sebuah gunung memiliki banyak jalur pendakian yang bisa ditempuh, baik yang sudah disediakan oleh pendaki sebelumnya, maupun yang memberanikan diri untuk membuka jalur pendakian baru. Itu tidak masalah karena tujuan kita adalah menyentuh puncaknya. Dalam upaya menyentuh puncak, perjalanan tidak selamanya mudah. Ada kesulitan-kesulitan yang siap merintangi langkah kaki kita.
Namun, saya yakin, walaupun datang dari arah berbeda-beda, begitu sampai di puncak, kita akan merasakan keindahan yang sama (meski citarasa penyampaian kita nanti juga berbeda). Kita akan menyaksikan matahari terbit-tenggelam yang sama. Dingin yang sama. Kebutuhan akan kehangatan yang sama. Dan tenggelam dalam keasyikan batiniah yang sama.
Orang yang menuduh sesat, sesungguhnya orang yang tidak memiliki cukup keberanian menantang dirinya untuk menyentuh getaran awan-awan, tidak berani menebas ilalang-ilalang liar, dan takut ketinggian. Mereka hanya orang-orang yang suka berkoar-koar sambil menahan kencing di celana karena menahan gelegak kepengecutan, dan menurut saya, tidak lebih mulia dari bebek-bebek yang berkwek-kwek-kwek.
Rasa takut sebenarnya, meminjam nasehat Gus Mustofa Bisri, bukanlah pemikiran yang lahir dari kutub ekstrim, melainkan kalau manusia sudah tidak mau belajar. Begitulah.

Komentar