Tresno Melarat


Jam 12 siang hari, tepatnya di sebuah terminal yang panasnya minta ampun. Di saat pekerja kantoran makan siang bersama kolega-koleganya di café-café atau restoran-restoran ber-AC, Tresno sang supir angkot sedang duduk melamun sendiri. Di tangannya tergenggam surat tagihan biaya sekolah 2 orang anaknya, surat tagihan listrik,  dan surat tagihan air.
Mobil-mobil berseliweran di jalanan beraspal seakan mengejek kemiskinan yang mendera Tresno. Siang yang panas, makin terasa gerah di tubuhnya. Dadanya sesak menahan kecamuk yang membahana.
Ia masih ingat perbincangan dengan istrinya tadi pagi. Entah kenapa istrinya pagi ini begitu terlihat manja. Dan tumben ia menghidangkan teh panas lengkap dengan pisang goreng. Biasanya cuma kopi atau kadang-kadang air saja.

“uang belanjanya habis ya, bu’e?”, selidik Tresno.
“eh, ya. Kok tau sih pak’e? oh ya, ini ada surat dari sekolah anak-anak. Sudah dua bulan uang sekolah belum dibayar lho pak’e…” Sudah diduga.
“bagaimana ya bu’e, akhir-akhir ini setoran memang nggak banyak. Penumpang langgananku sudah punya motor sendiri-sendiri. Susah cari penumpang di kota. Sabarlah dulu..  ”
 “aduh, pak’e…saya sudah tahu keadaan memang sedang sulit sekarang..apa boleh buat,  kita butuh uang, pak’e. butuh uang. Apa tidak kasihan sama anak-anak? Telat sebulan lagi, mereka bakal dapat skorsing dari sekolah. Apa pak’e ingin melihat anak-anak kita tidak sekolah?”
Pertanyaan yang terakhir ini tak dijawab Tresno. Ia sudah tahu jawabannya sendiri tanpa harus menjawabnya. Ia ingin anak-anaknya terus sekolah bagaimanapun caranya. Kalau perlu sampai perguruan tinggi. Syukur-syukur setelah lulus nanti anak-anaknya bisa mandiri dan mencukupi kebutuhan keluarga. Itulah satu-satunya mimpi Tresno yang melecut dirinya untuk berangkat kerja narik angkot lagi.
Diam-diam ia menyesal kenapa dulu tidak mengindahkan nasihat orangtuanya untuk bersekolah. Ia lebih menuruti ego diri sendiri untuk bekerja saja. Saat itu ia masih muda dan cakrawala berpikirnya masih sempit. Belum mengerti benar bahwa banyak peluang bisa diraih lewat jalur pendidikan. Ia tidak menyadari itu. Dan kini penyesalan hanya bisa disesali. Waktu tak mungkin diputar ke masa itu lagi.     
Tresno berpikir, terasalah hidup hari ini begitu susah. Hingga terkadang ia punya keinginan supaya tuhan mempercepat datangnya kiamat siang ini juga sehingga beban pikirannya tidak menindih tubuhnya yang ringkih. Biarlah tak ada surat tagihan dalam bentuknya yang seperti apapun, tak perlu mengeluarkan uang untuk belanja beras, atau keinginan lainnya. Tak usah ada itu semua. Biar hancur semua luluh lantak dihunjam meteor-meteor angkasa dan dilumat bola api sebesar matahari. Dan masalah demi masalah pun selesai sekejap mata.
Akan tetapi ia berpikir lagi, kalau semua sudah berpindah alam, lantas bagaimana kelak pertanggungjawabannya di akhirat nanti? Apa yang mesti ia jawab ketika ditanya malaikat penjaga gerbang keabadian? Sementara tanggung jawabnya adalah menghidupi tiga orang anggota keluarga yang sungguh-sungguh ia cintai?. Ingin rasanya mengakhiri hidup ini, tetapi kok takut menahan sakitnya.
Terkadang kehidupan memang laksana puisi yang tercipta dari lubuk karsa terdalam sang seniman maha rumit. Rumit pula untuk memahaminya. Serumit kala puisi itu diciptakan. Belum lagi kalimat-kalimatnya yang berima membentuk untaian ayat-ayat serba gaib nan ajaib, berirama, dan memiliki liku-liku berkelok-kelok tajam, serta rangkaiannya yang bersayap-sayap. Logika mana yang sanggup menerjemahkan keseluruhan desain penciptaan seperti itu? Batok kepala manusia hanya sebesar tiga kepalan tangan, mana sanggup memikirkan semesta seluas tak berhingga yang serba kompleks dan multi dimensional?
Tresno tidak mengerti mengapa orang-orang yang sangat membutuhkan uang dan tujuannya murni memenuhi kebutuhan hidup, tak kunjung penuh isi tabungannya. Ah, jangankan terisi penuh, baginya sendiri dua lembar dua puluh ribuan pun rasanya senang tak terkira. Masalahnya, empat puluh ribu bisa untuk apa? Sementara mereka yang kebutuhan hidupnya hanya bersenang-senang semata malah berhamburan uang. Aneh sekali.    
Tak terasa speaker dari musholla mulai meraung-raung mendendangkan panggilan tuhan, berlomba-lomba unjuk vokal dengan kebisingan jalanan siang itu.  
Setengah terpaksa Tresno melangkahkan kakinya dengan gontai ke arah musholla terminal. Ketika tengah mengambil air wudhu, ia berpikir kira-kira bisakah tuhan menolongnya detik ini juga? Harusnya sih bisa. Dipikir goblok-goblokan, tuhan bisa membantu pejabat korupsi milyaran dengan caranya  yang misterius dan mulus sampai terlepas dari jerat hukum sekalipun, masa bantu orang miskin, dengan tanggungan tiga orang yang mesti dihidupi saja ndak bisa? Kalau toh ternyata tak bisa membantu, lebih baik tidak usah jadi tuhan sajalah. Lebih baik jadi petani macam Pak Kardi tetangganya, macul dan ngarit di sawah. Huh! Tahu rasa kau, tuhan…
Tetapi, apa salahnya mencoba berdoa? Barangkali seketika itu juga dikabulkan tuhan, siapa tahu?  
Ya, logika siapa tahu mendorong Tresno memantapkan hati dan berdoa seusai sembahyang, “tuhanku yang maha segalanya. Ampuni aku karena telah lancang dan tak sopan padamu. Tuhan, berilah aku uang yang banyak siang ini. Bukan untuk kepentinganku sendiri, tuhan. Tetapi untuk istriku tercinta dan anak-anakku di rumah. Jika engkau memang maha kaya dan penuh kuasa, maka tunjukkanlah padaku bukti kekayaan dan kekuasaanmu sekarang juga…”
Ia menunggu. Lima detik. Lima menit. Lima belas menit. Tak kunjung muncul keajaiban tuhan. Mana kekayaan tuhan itu? Sekeping harta saja tak terlihat tanda-tandanya. Karena merasa kesal, Tresno bergumam, “tuhan, kalau tak boleh minta, aku utang sajalah…bulan depan kulunasi..”
Seorang kakek tua di belakangnya menepuk perlahan bahunya dari belakang mengagetkan Tresno, “uang belanja istrimu habis, ya?” Tresno terkejut sekaligus terheran-heran. Dari mana orang ini tahu? Belum habis rasa keterkejutan Tresno, orang tua itu melanjutkan, “biaya sekolah anakmu juga nunggak dua bulan, kan?” bertubi-tubi kalimat-kalimat pak tua itu menghunjam jantung Tresno hingga mengucurlah keringat dinginnya.
Dengan sedikit memberanikan diri, Tresno bertanya takut-takut, “sebenarnya sampean ini siapa? Bagaimana bisa tahu keadaan saya saat ini?” dalam hati, Tresno berpikir jangan-jangan lelaki tua di hadapannya saat ini Khidir sang legendaris. Atau mungkin salah seorang wali di tanah jawa. Lelaki tua itu tersenyum menikmati rasa campur-aduknya hati Tresno. “bukan, saya bukan Khidir. Sebenarnya saya hanya manusia biasa sepertimu. Orang-orang memanggil saya Mbah Ronggo”.
“jadi, sampean ini Mbah Ronggowarsito?”sudah diduga, lelaki tua ini bukan manusia sembarangan.  . 
 “saya memang Ronggo, tapi bukan Ronggowarsito. Ronggo saja, tidak ada embel-embel warsito-nya. Begini, Tresno, aku sempat mendengar keluhanmu tadi. Menuntut-nuntut tuhan itu tidak baik. Sebagai gantinya, ayo ikut aku. Kutunjukkan sesuatu padamu” belum habis rasa tercengang Tresno, bagai kerbau yang dicocok hidungnya, ia menurut saja ketika lelaki tua itu menggandeng tangannya. Tresno tambah merasa takut ketika pak tua itu melambaikan tangannya, seketika itu juga mimbar imam di depannya tiba-tiba berubah menjadi pintu besar yang bercahaya terang menyilaukan mata. Namun, lelaki tua itu menatapnya dengan tatapan mata teduh seakan berujar, jangan takut, masuk saja dan akan kau lihat keajaiban. Di balik pintu itu, ia melihat api putih yang menjilat-jilat ganas tengah memanggang manusia-manusia yang merintih kesakitan. Di antara mereka, ia mengenali beberapa wajah yang sering muncul menghiasai layar televisi. Seperti layar bioskop, adegan pun berganti dari yang semula api memanggang tubuh-tubuh manusia, kini adalah hamparan keindahan berwarna-warni indah. Hamparan itu penuh dengan pepohonan beraneka rupa, rerumputan basah dan taman-taman bunga. Sementara di tengah-tengahnya terdapat kolam jernih sekali. Ia bisa melihat jelas ikan-ikan beraneka ragam sedang bermain kejar-kejaran. 
“Bagaimana, Tresno? Apa yang kau lihat itu?”
“sebelumnya maafkan saya, bapa guru, jujur saya takjub atas apa yang saya saksikan. tetapi saat ini saya tidak butuh hal-hal seperti ini. Yang saya butuhkan itu uang, buat istri dan anak-anak saya. Konkrit-konkrit sajalah, bapa.. ”
“Ooo, begitu. Baiklah kalau itu maumu. Rupanya kamu tak siap menerima ilmu hikmah. Berat, sungguh berat. Ya, ya, aku paham dengan karakter manusia jaman ini. Gila, memang sungguh-sungguh gila…Hhh.. Nah, Tresno, aku tak seperti Khidir yang masih bersabar dengan tiga kesalahan Musa. Aku adalah aku. Dan sampai di sinilah takdir perjumpaan antara aku dan kamu. Kudoakan kamu dan keluargamu dijauhkan dari jahatnya harta benda  ”
Belum sempat Tresno mengucapkan sepatah dua patah kalimat, tubuh lelaki tua itu perlahan-lahan memudar bak kabut, dan dunia penuh fantasi tadi ikut melenyap berganti menjadi sebuah pintu yang ia kenali. Itu pintu rumahnya dan hari rupanya sudah malam. Ternyata cukup lama juga pertemuannya dengan lelaki tua itu tapi tak dirasakannya. Dengan berjingkat-jingkat, Tresno masuk ke rumah. Istrinya rupanya di kamar. Menangis.
“Lho, Bu’e…kenapa nangis?”
”Pak’e, ….tiga hari nggak pulang ke mana saja? kangen!.”
Kaliurang, 23 Oktober 2009

Komentar