Tarian Api


Ayam jantan berkokok sambil berdiri gagah di atas kandang bambunya. Bebek-bebek berkwek-kwek, berbaris rapi seperti serdadu pergi perang, padahal cuma bersama-sama mandi di kolam . Dari kejauhan terdengar suara ibu-ibu yang menjemur kasur, menggebuk-gebuknya dengan sapu untuk mengusir debu.  
“Dik, cepetan dikit. Sudah selesai belum?”
“Ya, sebentar juga selesai, kok. Sabar to..” Asih segera melepas pakaiannya. Diraihnya kemben. Dibalutkan kemben itu ke tubuhnya. Matanya jelalatan mencari-cari selendang. Ada di kursi. Terkulai lesu. Lalu, ia menghadap cermin. Ada wajahnya di sana. Letih dan kusut, seperti selendang yang lama tak dicuci itu.
“Dik, keburu siang lho..,” terdengar sekali lagi suara Rahmat.

“Ya, ya, ya..” Asih segera merias diri. Bedak dilaburkan ke wajah. Sudah. Lipstik dioleskan ke bibir. Sudah. Bulu mata, oo, jangan sampai terlupa. Mesti dipoles juga. Lentik, sudah. Konde, mana kondenya? Itu dia. Tusuk sana-sini, selesai juga akhirnya. Ia sekarang siap lahir-batin.
Rahmat, suaminya, sudah menunggu di depan. Dibanding dirinya, dandanan Rahmat lebih sederhana. Baju batik dengan motif garis-garis hitam-coklat, celana komprang, sendal jepit, dan blangkon usang. Di lehernya melilit tali yang menyangga sebuah kendang kulit lembu, pemberian mertuanya dulu waktu menikah.
Seusai mengenakan sandal selop, Asih tertegun saat menatap kendang yang disandang suaminya. Kulitnya mulai ditambal di sana-sini. Ukiran di atas kayu nangka yang dulu coklat mengilat, kini sudah kusam dimakan usia. Betapa, waktu berlalu begitu cepat. Seperti manusia, kendang pun juga punya usia.  
“Ayo berangkat. Nanti keburu siang.”
***   
Lampu merah, persimpangan kota. Panas, terik, menyengat. Orang-orang berkeringat. Orang-orang menghapus peluh sambil mengumpat. Meskipun ada juga yang diam dengan sabar, menanti si mata tiga mengedipkan tanda hijau.
Beberapa pengemudi memperhatikan angka di atas si mata tiga. Wah, masih lama. Semenit lagi. Tunggu dulu. Lama? Sejak kapan istilah semenit menjadi lama ? apakah sekarang waktu sedemikian mahalnya, sampai-sampai menunggu hanya untuk beberapa detik saja orang-orang seakan kehilangan peluang. Dan kehilangan peluang, mungkin bagi mereka berarti kehilangan uang. Waktu adalah peluang. Peluang adalah uang. Maka, ayolah, lampu. Ayolah.Peluangku, uangku, menanti di ujung jalan sana. Muluskanlah perjalananku. Kira-kira demikianlah doa di hati mereka. Harapan akan hidup dan mati kini seakan digantungkan pada kuasa lampu merah, bukan di tangan tuhan lagi.
Tak terkecuali bagi Asih dan Rahmat. Hanya berbeda tipis. Kalau orang-orang kebanyakan merasa rejeki di seberang sana, dan harus dijemput selekas-lekasnya saat lampu menyala hijau. Bagi keduanya, justru berbanding terbalik. Saat waktu berhenti seperti inilah ladang rejeki, yang terkadang mengalir seperti sungai di musim penghujan, tapi seringnya kering kerontang laksana ladang tanpa majikan. Dan saat-saat seperti inilah malaikat pembawa rejeki keduanya seolah mengintip malu-malu dari langit yang terik. Tapi, keduanya tak peduli. Barangkali lebih tepatnya, tak tahu, atau tak mau tahu.   
Asih dan Rahmat sudah sampai di trotoar. Mereka menolehkan kepala ke arah kanan-kiri. Siapa tahu ada kendaraan nyelonong. Setelah dirasa aman, mereka menyeberang jalan dan berdiri menghadap para pengendara motor, sopir-sopir mobil, yang sedang berhenti menunggu lampu merah.
Rahmat memulai intro dengan menabuh kendang yang digendongnya. tak dung tak dung tak dung. Asih mengiringinya dengan bait lagu. Suwe ora jamu, jamu godhong telo, suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gelo.
Perempatan lampu merah, tempat terik dengan matahari tepat di atas ubun-ubun, kini menjelma menjadi panggung opera bagi Asih dan Rahmat. Rahmat mulai tak mempedulikan keringat yang mengucur di dahinya. Asih juga mulai terbawa perasaannya.
Asih pun mulai menari. Ia melenggak-lenggokkan tubuhnya yang berbalut kemben, sambil menyanyikan lagu suwe ora jamu. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri para penontonnya yang bisu. Disodorkannya kaleng kosong pada para sopir, pengendara motor, dan siapa saja yang berhenti menunggu detik-detik berjalan mundur. Asih terus melenggang gemulai. Sesekali ia melambai-lambaikan selendangnya.
Namun, para penonton itu malah diam tidak bereaksi. Tatapan mata mereka masih lurus ke arah detik-detik bergantinya lampu.5, 4, 3, 2, 1…klakson-klakson menyalak-nyalak, galak. Asih dan Rahmat menyingkir. Lagi-lagi malaikat pembawa rejeki enggan mampir.  
***
“Sudahlah, dik. Jangan kau pikirkan. Anggap saja hari ini belum beruntung”
Asih menghela nafasnya yang tiba-tiba terasa berat. Ada gumpalan kekecewaan memenuhi rongga dadanya. Kata-kata yang dilontarkan Rahmat terasa bagai parang yang mencacah-cacah hati. Namun ia harus melemparkan kekecewaannya pada siapa? Pada para sopir dan pengendara motor yang tak juga mengulurkan sekeping koin pun padanya? Mengapa ia kecewa? Toh, mereka tampaknya tidak salah.
Mungkin mereka sebenarnya ingin memberi uang, tapi kebetulan tidak punya receh. Ah, masa dari sekian banyak orang itu tidak ada yang membawa receh, pikir Asih.
Mungkin begini. Kalau saja tidak berhenti di lampu merah, tentu mereka tidak sekedar memberi receh. Minimal satu lembar seribuan. Di meja makan sebuah restoran, misalnya. Orang-orang kan suka merasa gengsi dirinya bertambah berkali-kali lipat saat duduk di restoran. Pastilah uang receh bikin berat dompet di saku celana. Lhadalah, restoran mana yang menerima kehadiran pengamen? Ah, dasar khayalan, memang tidak tahu diri.
Sambil tengadah menatap langit, khayalan Asih terbang mundur melawan gerak awan hingga sampailah ia di kampungnya 20 tahun silam.
Ia melihat dirinya ketika itu masih kecil. Ibunya seorang penari, persis seperti dirinya sekarang. Bapaknya penabuh kendang. Sementara paman-paman, dan sanak kerabatnya begitu piawai memainkan gamelan, kenong, bonang, dan beberapa instrumen tradisional lainnya. Ya, mereka memang dikenal sebagai keluarga berdarah seni.  
Setiap pertunjukan yang mereka tampilkan selalu ramai dihadiri orang-orang. Terlebih lagi jika musim nikah atau orang pulang haji, order pun datang serupa banjir. Mengingat itu, Asih tersenyum-senyum sendiri.
Namun, makin lama, orang-orang makin tidak betah menghibur diri dengan pertunjukan tari. Mereka lebih suka menonton televisi saja. Lebih enak, tidak kepanasan, atau kehujanan. Plus, tak perlu keluar banyak dana. Order pun menurun drastis. Dan orang-orang yang berhajat, sudah mulai menggunakan kaset untuk hiburan. Senyum Asih memudar. Wajahnya yang kuning langsat terlihat sendu.
“Minumlah, dik. Kau tampak tidak tenang. Yakinlah, bahwa Tuhan tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya,”Rahmat memijat-mijat pundak Asih sambil menyodorkan sebungkus es teh, menenangkan kegalauan istrinya. Seolah ia bisa membaca isi pikiran Asih.
“Semoga, mas. Ingat, pokoknya si thole harus jadi sarjana, meskipun kita ngamen siang-malam seperti ini…” Rahmat tidak menjawab, ia malah tersenyum seolah mengiyakan. Namun, hati Asih tidak bisa sedingin es teh yang akhirnya meluncur ke kerongkongannya yang kering. 
***
Asih sudah tidak ingat berapa lama ia menari di ruang gelap dan beraroma lavender itu. Tubuhnya banjir oleh keringat yang terus-menerus mengucur deras. Sementara tangisnya tak kunjung berhenti. Air mata telah habis terkuras. Tinggal bekasnya saja yang membujur di atas pipi, mirip gurat luka.
Tembang yang biasa ia nyanyikan saat menari, suwe ora jamu, jamu godhong telo, suwe ora ketemu, ketemu pisan gawe gelo, lenyap ditelan gelak tawa serta dengus nafas menahan hasrat kelima orang lelaki asing di depannya. Tak ada bunyi kendang Rahmat. Tidak ada tatapan kosong para sopir dan pengendara motor. Tak ada semua.  
Asih juga sudah melupakan apa nama tarian yang ia bawakan sejak tadi. Satu-satunya hal yang diingatnya hanya satu rangkaian adegan beberapa hari silam, seusai duduk di bawah pohon, ditemani lembut pijitan Rahmat.
Ketika itu, ia melihat beberapa orang bersemburat ke segala arah. Para pedagang asongan cepat-cepat mengemasi barang dagangannya. Suara teriakan kepanikan membahana. “Ada razia! Ada razia! Kabuuurr!”
Dari kejauhan tampak para petugas keamanan menyeruak ke arah kerumunan orang-orang yang panik itu. Ada yang berusaha kabur, tapi ternyata gerak para petugas lebih gesit lagi.
Satu per satu mereka tertangkap. “Mas, kita harus bagaimana?” suara Asih terdengar ikut panik sewaktu seorang petugas menghampiri mereka. “Selamatkan dirimu, Dik. Aku membawa kendang seberat ini, pastilah tertangkap juga. Pulang sana! Cepat!”
“Tapi, mas…”
“Cepatlah..dia semakin dekat!”
Tak urung, Asih kabur juga. Dipaksanya kedua kaki yang letih untuk berlari. Meski agak pegal juga berlari dengan mengenakan sandal selop yang membetot kakinya. Selendangnya terjatuh. Ia tidak peduli. Sementara kemben dan sanggul yang ia pakai sudah tidak beraturan lagi letaknya. Dalam hati ia berdoa, semoga nanti malam Rahmat sudah kembali lagi di sisinya.
Di sebuah gang yang temaram, Asih berhenti sejenak mengatur nafas. Dari belakang, tiba-tiba ada seseorang yang membekap mulut dan hidungnya. Asih mencoba berontak, tapi tak kuasa. Tangan itu jauh lebih kuat dari perlawanannya. Lama-lama Asih merasa lemas, pandangannya menggelap. Ia pun tak sadarkan diri.
Kesadarannya kembali lagi kini. Lilin-lilin kecil berwarna merah dinyalakan melingkar. Asih menari di tengah-tengahnya. Ketika merasa capek dan ingin berhenti, kelima orang lelaki asing itu selalu berteriak, “More…More…More !!!”. Dan mau tidak mau, Asih terpaksa menari lagi. 
Aduh, aduh, suamiku, si thole, maafkan aku, jerit nurani Asih sambil tetap menangis tanpa air mata. Salah seorang di antara mereka bangkit berdiri mendekati Asih. Direngkuhnya tubuh Asih yang sudah kelelahan. Asih memilih pasrah. Keempat temannya bersorak-sorak, “Good…Good…”  
You are so beautiful, javanesse lady…come, come. Shake your body! Play with me!” Lelaki itu berbisik lirih di telinga Asih. Dari mulutnya meruam bau minuman keras. Asih tak mengerti bahasa apa yang diucapkan lelaki itu. Satu-satunya hal yang ia mengerti adalah  nama tariannya tadi. Apa namanya tadi? Oh ya…tarian api? Persis seperti jilatan api lilin-lilin kecil berwarna merah.
Cheers. Keempat lelaki asing bersulang saat melihat temannya mulai menindih tubuh Asih.

Komentar

  1. wong setengah akhsan2 Mei 2011 pukul 10.04

    menyedihkan semoga ini hanya cerita/dongeng tentang kekhawatiran hati manusia akan kondisi negara tercinta....dan bukan true story ^_^

    BalasHapus
  2. Lagi cari cerpen di google, eh muncul blog ini. Bagus Ceritanya.
    Salam kenal..

    BalasHapus

Posting Komentar