Takut....


Si anak kelas 3 SD, Wawan,  tak menyangka secepat itu dirinya ditemukan. Padahal ia sangat yakin telah bersembunyi sebaik-baiknya. Terkejut ia ketika mendapati si Bombom menepuk pundaknya pelan dari belakang sambil nyengir kuda.”Kena kamu! Sekarang giliran kamu yang jaga”.
Setengah bersungut-sungut, Wawan mulai menghadap dinding, memejamkan mata, dan mulai menghitung, “satu, dua, tiga, empat…..” sampai pada angka sepuluh, ia membuka matanya kembali dan berbalik. Teman-temannya sudah menghilang dari pandangan.

Ia melayangkan penglihatannya yang kurang tajam dan berkacamata itu ke kanan-kiri. Celingukan seperti ayam mencari cacing di pagi hari. Teman-temannya masih tak nampak juga. Akhirnya, Ia pun memutuskan untuk beranjak dari ‘pos jaga’, melacak tempat persembunyian mereka sambil memasang tampang cemberut.
Ia mengira, si Bombom yang bertubuh gendut pasti mudah ketahuan. Dan ia hapal kebiasaan bersembunyi Bombom yang biasanya tak strategis. Aha, pasti di situ, dekat gerobak sate ayam. Ternyata keliru. Ia mengais-ngais segala sudut di tempat pembuangan sampah pojok kampung yang juga tempat persembunyian favorit Bahrul, salah seorang temannya selain Bombom dan Abe. Tak ada siapa-siapa di situ. Ketiga temannya seolah kompak menghilang bersamaan.
Lama ia mengelilingi pojok-pojok kampung, sudut-sudut gang, sampai warung-warung kelontong. Tetap saja sejauh mata memandang, teman-teman sepermainannya harus ia akui hari ini mereka begitu lihainya bersembunyi. Khusus hari ini saja. Kemarin-kemarin tidak.
Kakinya berhenti sejenak di depan sebuah rumah tua dekat selokan. “apakah mungkin mereka masuk ke dalam?”, batin Wawan. Rumah itu terlihat angker. Apalagi dengan kondisi yang sudah tak dihuni lagi dan seolah dibiarkan terlantar. Cat-cat dindingnya mulai mengelupas. Halaman rumah penuh dengan dedaunan dan sampah-sampah entah dari mana datangnya. Sementara pagar besi yang tak bergembok itu sudah lama dimakan karat.
Diterpa sinar matahari yang hampir tenggelam, Wawan takut-takut menatap rumah itu lama-lama. Apa boleh buat, di semua tempat yang ia perkirakan tempat persembunyian kawan-kawannya sudah ia periksa, tetapi tak ditemukannya juga batang hidung mereka .Tinggal satu, si rumah angker ini.   
Perlahan-lahan, Wawan mulai membangun keberaniannya. Sedikit menahan nafas, ia berusaha menyingkirkan rasa dingin yang tiba-tiba menyergap bulu kuduknya saat memasuki halaman rumah itu. Ia memutar gagang pintu. Ternyata tak dikunci. Derak suara pintu kembali membuat Wawan merinding. Rumah itu gelap, berbau tak sedap, dan banyak sarang laba-laba bertebaran di sana-sini.
Mata Wawan jelalatan dalam gelap. Ia mulai melangkahkan kaki sambil meraba-raba. Tiba-tiba…wuush! Ia merasa ada sekelebat bayangan melintas dengan cepat di belakangnya. Hawa aneh seketika menjalari tengkuk Wawan. Ia membalikkan badan. Tak ada siapa-siapa dan bukan apa-apa. Mungkin angin dari jendela di dekat pintu, batinnya dalam hati.
Setapak demi setapak, pelan sekali langkah Wawan maju ke depan. Sunyi senyap di sekelilingnya. Hanya langkah kakinya yang terdengar.
“Bombom…Bahrul…Abe…aku tahu kalian di sini…keluarlah, hari sudah sore. Besok kita main lagi”. Suara Wawan bergema memantul-mantul dinding rumah. Namun tak ada sahutan. Suasana tetap sepi…. dan mencekam.
Main yuk…
Lamat-lamat di telinganya terdengar suara. Seperti suara anak-anak, tapi lebih berat. Mustahil suara teman-temannya.
Main yuk…
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dan semakin jelas. Wawan merasa sumber suara itu makin dekat dengannya. Dalam kegelapan yang mencekam itu, mata Wawan berusaha menyesuaikan diri. Ada sesosok bayangan manusia. Ia nampak mendekati Wawan. Sepertinya ia mengulurkan tangan dan memanggil Wawan dengan bahasa isyarat. Refleks, Wawan berjingkat mundur ke belakang.
Main yuk…
Semakin dekat, dan akhirnya Wawan tahu wujud sebenarnya dari si bayangan bersuara berat itu. Ia bukan Bombom, bukan Bahrul, bukan pula Abe. Jelas ia bukan manusia. Sebab kakinya tak terlihat menempel di lantai, melainkan melayang beberapa senti. Kepalanya tak memiliki wajah. Namun ada guratan tipis membentuk bibir seolah menyunggingkan senyum yang aneh.
Wawan bergidik ngeri. Ia berteriak tertahan tak bersuara. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Wawan berbalik dan lari terpontang-panting. Suara si bayangan bersenyum aneh terus-menerus memanggilnya.
Main yuk… Wawan tak menghiraukan. Ia mengerahkan seluruh kekuatan kakinya untuk berlari dan terus berlari menuju rumah. Lupa pada tujuan semula.
*****
Makan malam pun tiba. Aroma masakan ibu wawan begitu menggugah selera. Namun Wawan sendiri terlihat kurang bernafsu makan. Tak disentuhnya lauk pauk atau sayur-sayuran. Piringnya masih kosong tak terisi nasi. Ini aneh mengingat selera makan wawan yang sangat besar.
“kok tumben nggak nafsu makan?”selidik ibu.
“kamu sakit ya?” bapak ikut bertanya.
Wawan hanya menggelengkan kepala lemah. Nampaknya ia masih sedikit terguncang atas kejadian tadi senja. Ia ingin bercerita, tapi lidah terasa kelu.   
“wan, cerita dong sama ibu. kamu habis ngapain kok sampai nggak nafsu makan?”
Wawan diam. Semua menunggu wawan mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara.
“pak, bu, wawan tadi melihat hantu…”setengah terbata wawan mulai angkat suara.
Bapak mengernyitkan dahi dan bertanya “melihat hantu? di mana, wan?”.
“di rumah kosong pojok kampung, pak…”
“tidak mungkin ada hantu di zaman lampu dan televisi seperti sekarang ini”. Bapak memotong penuturan Wawan. “Lihatlah, semua sudah terang benderang. Listrik menyala di mana-mana. Kalau dulu memang ada sebab masih gelap. Penerangan pun cuma obor atau lampu minyak waktu itu.”
“tapi wawan benar-benar melihatnya sendiri, Pak. Takut…”
“Wan, wan.. takut kok sama hantu. Takut itu kalau kita tidak bisa makan enak, tidak bisa sekolah, dan tidak bekerja..Ya kan?, Nah, Sudahlah, kamu makan saja. jangan dipikirkan lagi” Lagi-lagi bapak menyela. Bapak tidak ingin anak semata wayangnya memikirkan perkara yang tidak ada dasarnya itu..  
Ibu mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Ucapan bapak memang ada benarnya juga. Seharusnya sudah tidak ada hal-hal kurang penting semacam hantu dan sejenisnya. Ketakutan yang kita hadapi saat ini tak lain dan bukan adalah kelaparan, menganggur, atau apapun itu yang merugikan diri sendiri. Ah, wawan kan masih kelas tiga sekolah dasar. Mana tahu dia kerangka berpikir seperti ini?
“iya wan.  Bapakmu ada benarnya. Mungkin yang kau lihat itu bayanganmu sendiri atau kelelawar. Atau apa saja lah. Bisa saja kan?”
Wawan memikirkan ucapan bapak ibunya, bayangannya sendiri? bisa jadi. Akan tetapi mana ada bayangan bisa tersenyum seseram itu kalau bukan sejenis hantu? Tubuh wawan bergidik ketika mengingat-ingat pengalamannya sore tadi.   
*****
Pernahkah engkau bermimpi buruk setiap malam? Dan mimpi buruk itu membayangi langkah-langkahmu dalam menjalani kehidupan. Betapa tidak mengenakkannya! Lihatlah, engkau pasti berpembawaan melamun, sering ketakutan tanpa alasan, serta yang pasti trauma mendekati ranjang. Engkau mulai menjauh sedikit demi sedikit dari kawan-kawan terdekatmu. Entah karena mereka menganggapmu aneh atau engkau sendiri yang menarik diri dari pergaulan.
Inilah yang dialami Wawan. Semenjak kejadian di rumah kosong itu, setiap malam ia selalu dihantui sesosok bayangan aneh dengan kaki tak menempel di lantai, melambaikan tangannya, memanggil-manggil lirih, “ Main Yuk….” sambil menyunggingkan seulas senyum tak jelas:apakah tersenyum atau menyeringai.
Oleh karena sering menyendiri dan melamun, hubungannya dengan si Bombom, Abe, maupun Bahrul menjadi sedikit renggang. Termasuk pula hubungannya dengan bapak dan ibu sendiri.  
“Pak, aku jadi kuatir pada kondisi anak kita” ibu menegur bapak saat sedang senggang di teras belakang.
“kuatir bagaimana, bu?”bapak menyahut sambil membaca koran dan menyeruput secangkir kopi.
“ah, bapak ini tidak tahu apa pura-pura tidak tahu? Lihat saja tingkah si Wawan makin aneh belakangan ini. Suka teriak-teriak sendiri waktu tengah malam. Katanya mimpi buruk, tapi kok hampir tiap hari? Apa bapak tidak ikut kuatir?”
“sebentar lagi juga pulih kok. Aku yakin anak laki-laki seperti Wawan akan tabah menghadapi masalahnya.”
“terus, bagaimana kalau ternyata apa yang diceritakan wawan memang benar adanya. Bagaimana jika hantu itu benar-benar ada dan mengikuti anak kita ke mana-mana?”ibu mulai terlihat kuatir.
“bu, hantu itu tak ada. Wawan hanya perlu perhatian dari kita. Itu saja!” nada ucapan bapak kian meninggi menandakan tidak suka.
“tapi, pak…”
“bu! Baiklah kalau begitu. Aku akan memastikan sendiri bahwa hantu itu tak ada. Aku akan datang ke rumah itu dan meyakinkan wawan bahwa ia mungkin hanya melihat bayangannya sendiri, lantas ketakutan seperti itu.”.
“Pak…”
“cukup, bu! Aku sudah bosan dengan obrolan tentang hantu ini. Aku akan berangkat sore ini juga. Engkau tak perlu kuatir, semua pasti beres” bapak beranjak berdiri dari kursi, meninggalkan ibu yang masih berusaha menguasai rasa kekuatirannya.
******
Waktu menunjukkan pukul 17.20 sore hari, tepat seperti yang dijanjikan bapak pada ibu, kali ini bapak lah yang datang ke rumah kosong itu sendirian. Ia ingin membuktikan bahwa ucapannya yang benar dan apa yang dilihat wawan itu sebenarnya tidak ada. Cahaya matahari masih bersinar malu-malu di ufuk barat. Sebentar lagi ia pasti tidur dan digantikan oleh rembulan.
Dipandanginya rumah itu. Masih seram, seseram kala wawan memasukinya. Namun di balik keseramannya, ternyata rumah itu terlihat gagah sekali. Struktur bangunannya termasuk kuno, bergaya belanda, sementara jendela-jendela dan pintunya berukir batik. Pasti pemiliknya dulu orang kaya. Kalau dibersihkan dan direnovasi total, tentu laku tinggi harga jualnya. Eh, kok malah memikirkan bisnis? Bukankah tujuannya ke sini untuk sekedar pembuktian saja bahwa hantu itu tak ada?
Perlahan bapak mulai mendorong pintu. Berdecit-decit bunyi engsel pintu berukir batik itu ketika didorong bapak. Bau-bauan tak sedap langsung menyeruak hidungnya hingga untuk sesaat bapak menutup hidung dengan sapu tangan. Uh, berdebu dan banyak sarang laba-labanya.
Bapak pun meneruskan langkah kakinya, melihat-lihat keadaan sekitar. Di tengah ruangan ada cermin besar tergantung di tembok. Cermin itu seukuran tinggi orang dewasa. Tapi debunya minta ampun. Tebal sekali. Bapak tertarik untuk mendekat.
Pertama-tama, disibaknya sarang laba-laba di sekitar cermin itu. Dibersihkannya debu-debu tebal yang menempel dengan tangannya. Kaca cermin itu masih bagus. Ukiran di sekelilingnya menandakan cermin itu juga mahal. Mungkin harganya sama dengan harga satu buah sepeda motor, batin bapak. Setengah dari cermin sudah hampir bersih dari debu. Andaikata dipajang di ruang tengah rumah, bagaiman komentar tamu-tamu ya? Bapak membatin lagi. Tiba-tiba…  
Main yuk….
Bapak menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa.
Main yuk…
Bapak mendongakkan kepala ke atas, sementara ekor matanya melirik lagi ke kanan ke kiri. Masih tak ada siapapun di rumah itu kecuali dirinya. Seketika, hawa aneh dan dingin menyerang bulu kuduknya. Merinding rasanya. Perasaan apa ini?
Main yuk…
Suara itu makin keras terdengar. Seakan bersumber dari sebuah speaker besar yang berada kurang dari lima meter dari telinganya. Bapak memberanikan diri berteriak, “siapa? Jangan coba-coba menakutiku. Aku tak takut sama sekali. Kalau berani, tampakkan mukamu, ayo maju, hadapi aku!”. Bapak menunggu. Semenit, dua menit, lima menit, tak ada seseorang yang keluar menampakkan batang hidungnya. Dalam hati ia merasa mungkin ilusi ini pula yang mendatangi wawan. Ah, hanya ilusi kok takut. Mungkin efek dari kesendirian di dalam kegelapan, pikir bapak berusaha rasional.
Bapak tersenyum puas. Ia kembali melihat-lihat cermin. Kok tiba-tiba cermin ini berwarna hitam? Disekanya cermin itu. Tidak hilang. Jika diamati, itu bukan kotoran atau debu. Melainkan pantulan dari sosok yang berdiri di belakangnya. Apa dan siapa dia?
Bapak membalikkan badannya. Dalam teriakannya yang tercekat, bapak melihat sesosok bayangan persis seperti yang diceritakan wawan beberapa hari lalu. Ia tak memiliki wajah, melayang-layang di atas lantai seolah kapas diterbangkan angin, dan yang lebih menyeramkan, ia tersenyum! Tapi, tapi, itu bukan senyuman. Entah apa. Bibirnya melengkung ke bawah seperti seringai.
Main yuk…
Ia bergerak maju ke depan bapak sambil mengulurkan tangan dan melambai perlahan. Bapak ingin lari, tetapi kedua kakinya tak mau diajak kompak. Kakinya bagaikan dipatri di lantai. Namun, bayangan itu semakin dekat, dan mendekat, persis di depan hidung bapak. Hal terakhir yang bapak lihat adalah ruangan itu berputar deras. Sementara tubuhnya sendiri terasa ringan. Bapak pun tak kuat menahan diri lagi. Ia jatuh di lantai. Sebelum tak sadarkan diri sepenuhnya, ia meminta maaf kepada wawan dalam hatinya. Tulus sekali. “maafkan bapak, wan”. Bapak pun tak sadarkan diri. Pingsan.
Kaliurang, 22 desember 2009

Komentar

Posting Komentar