Sepatu Hitam Manis

Di sinilah rupanya kaki-kaki cantik dilahirkan ke dunia. Tempat para wanita yang mengembang hidungnya kala dipuji oleh sang pria, “Kakimu indah sekali, manisku”. Nah, hati mana yang tidak melayang dikata begitu rupa?
Hanya hatiku seorang yang terhempas ke tanah. Bergedebuk karena diadu dengan tajamnya karang dan batu granit ketidakberdayaanku sendiri. Itu pun sebab kekhilafanku yang kebetulan, atau kebetulanku yang sedang khilaf? Nampaknya sama saja kedengarannya.

Sebulan lalu, ketika akhir pekan, kuajak istriku jalan-jalan ke kiblat manusia moderen bernama mall. Bukan bermaksud gaya dan ikut-ikutan biar dibilang gaul. Bukan begitu niatku. Aku hanya ingin jalan-jalan berduaan dengan istriku. Hitung-hitung bersenang-senang murah meriah.
Namun, dasar wanita. Tidak bisa melihat barang bagus di tempat perbelanjaan. Dan dasar lelaki, selalu tidak berdaya di depan wanita.
Saat melintas di depan toko sepatu, istriku berhenti tertegun. Matanya menatap lurus-lurus ke arah etalase. Pandangan matanya bukan kosong, seperti membayangkan sesuatu.
Kuikuti arah matanya melihat. Ternyata ia melihat dan membayangkan sesuatu yang hitam, manis, manja merayu-rayu, dan duduk angkuh seperti cleopatra di ranjang pengantin. Itu sepatu. Bentuknya sebenarnya simpel. Sesimpel banderol harga yang mengalungi lehernya yang hitam bertali-tali. Sepatu itu berhak tinggi, jenjang, berwarna hitam mengkilat, dan ada tali-tali yang berguna untuk mengikatkan dirinya dengan bagian mata kaki ke atas.
Kudengar istriku bergumam lirih. Hampir tak terdengar, tapi aku masih bisa menangkap patahan kata-kata yang meluncur dari bibirnya.
“Oh, Sepatu yang cantik…” Kalimat selanjutnya tiada kudengar. Namun terbaca olehku sebagai, “kira-kira berapa ya harganya?”
Mata istriku berbinar-binar. Aku terharu-biru. Dalam lubuk hati terdalam, aku meminta maaf sebesar-besarnya. Juga sumpah, sepatu itu harus terbeli olehku bagaimanapun caranya.

*****
Kali ini aku datang ke tempat yang sama. Sendirian. Aku baru mendapatkan rejeki, meskipun tidak banyak. Tujuanku datang kali ini untuk meminang si hitam manis dengan cucuran keringatku selama sebulan. Aku berharap, semoga nilai keangkuhannya makin meredup. Tidaklah melangit seperti kala aku datang bersama istriku beberapa waktu silam.
Kudekati etalase dengan langkah berdebar-debar. Semoga uangku mencukupi. Demikian doaku berulang-ulang. Kupejamkan mata saat si hitam manis menarikku ke dalam pusaran pesonanya. Kubuka mata pelan-pelan. Kulirik banderol yang tersemat di leher si hitam manis. Mataku terbelalak tak percaya.
Bukannya tambah murah, tapi makin mahal dua kali lipat. Aku berdiri mematung, lemas. Persendianku bagai dilolosi satu persatu dari kerangka tubuhku. Ternyata aku belum cukup mampu membahagiakan istriku. Lelaki, lelaki, inikah cintamu yang kau agung-agungkan selama ini? Bukankah kau sudah berjanji akan membahagiakannya sejak malam pertama? Bahkan untuk sekedar membelikannya sepatu saja kau tak mampu.
Tak henti-hentinya aku nelangsa. Hatiku menangis. Sanubariku meneteskan air mata sesal. Penjaga toko, seorang laki-laki yang kira-kira berumur dua puluhan, mendekatiku.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“oh, oh, tidak ada. Saya cuma melihat-lihat sepatu itu,”jawabku agak terkejut sambil menunjuk ke arah si hitam manis yang terlihat menyeringai sinis.
“sepatu itu? sekarang memang sedang tren, pak. Banyak yang cari model seperti itu. kemarin saja barangnya sampai sold out. Terpaksa kami stock ulang. Memangnya bapak mau beli untuk siapa?”
“ehmm..buat istri saya. Kira-kira harganya bisa dinego, mas?”
“hahaha, bapak ini aneh. Di sini mall, pak. Bukan pasar rakyat. Harga barang sudah ditentukan dari sananya, jadi tidak bisa ditawar”
“saya hanya bercanda, mas. Saya tahu kalau di mall harga barang sudah mutlak. Didiskon saja, bagaimana? Hitung-hitung buat penglaris lho mas.” Penjaga ini nampaknya orang baik. Mungkin dia bisa memberi harga yang sesuai dengan isi kantongku.
“waduh, saya nggak berani, pak. Kata atasan, jangan didiskon. Mumpung sedang laris sih..” si hitam bertali temali masih duduk merayu di etalase. Hatiku panas. Aku bersumpah akan mendapatkannya dengan cara apapun. Ini adalah kebulatan tekad. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.
******
Ini sudah ke tiga kalinya aku ziarah ke toko sepatu itu. Kutolehkan kepala, ke kanan dan ke kiri. Kuamati sekeliling. Aman. Di dalam toko sepatu cuma ada satu orang pelanggan wanita.
Langkahku mengendap-endap. Sejenak aku meragu. Apakah kuteruskan niat ini ataukah kubatalkan saja ? kupejamkan mata. Aku berdoa meminta keteguhan hati. Di pelupuk mataku sudah terbayang wajah istriku yang berbinar-binar cerah saat sepatu hitam itu tersentuh tangannya. Kali ini tidak boleh sebatas lamunan. Harus menjadi kenyataan. Aku pun bergerak masuk ke toko.
Dalam saku jaketku sudah kusiapkan sebuah belati kecil. Benda itu terasa dingin saat jemariku menyentuhnya. Sedingin wajahku yang kubuat dingin. Sedingin pendingin ruangan yang merindingkan bulu tengkuk.
Penjaga toko yang heran melihat kedatanganku tak bisa berkutik lagi. Sebilah belati kecil telah kukalungkan di lehernya. Sementara si pelanggan wanita hanya bisa terdiam seribu bahasa. Mungkin kaget. Aku sendiri juga kaget dengan keberanianku itu.
“serahkan sepatu itu!” ancamku.
“se, sepatu yang mana?” penjaga toko tergagap-gagap ketakutan.
“itu, yang di etalase! Cepatlah! Aku tidak punya banyak waktu!” setengah membentak, aku menudingkan pisau ke arah etalase. Lalu, kukalungkan lagi belati ke lehernya.
“ambil saja, tapi tolong jangan sakiti saya,”si penjaga toko mencoba memelas.
Tanpa mempedulikan si pelanggan wanita yang mulai menangis sesenggukan, aku beringsut menuju etalase. Kumasukkan si hitam manis ke dalam kantong plastik. Akhirnya, aku berhasil memilikimu, seruku girang dalam hati. Namun, aku terlambat menyadari sesuatu saat rasa kepuasan melanda benakku. Rupanya wanita itu berteriak sekencang-kencangnya hingga mengundang perhatian banyak orang. “Ada pencurii!,” teriaknya. Dua orang penjaga keamanan di luar menghampiri tempatku berada. Aku mulai disergap panik.
Secepat kilat, aku menerobos keluar. Aku berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh ke belakang. Dua orang penjaga keamanan berseru, “Tahan dia!” aku terus berlari dan berlari. Aku tidak mau tertangkap konyol di sini. Naas, langkah kakiku menabrak seorang gadis kecil yang sedang makan es krim.
Aku berusaha bangkit, tapi satu hantaman tongkat kayu mengenai kepala belakangku. Mataku berkunang-kunang, pusing. Dua orang sekuriti itu tangkas mengejarku. Ini benar-benar di luar perhitungan. Belum sempat mengaduh, hantaman demi hantaman bertubi-tubi menghujani kepala, dada, kaki, dan hampir semua anggota tubuhku lainnya. Dapat kurasakan cairan hangat berwarna merah kehitaman menutupi penglihatanku. Darah? Ah, pandanganku mulai gelap. Orang-orang berkerumun melihatku yang terkapar seperti melihat sirkus. Aku sudah mati rasa. Bahkan ketika aku diseret dan dilempar ke belakang mall yang penuh dengan tong sampah. Gelap. Ini malam ataukah kesadaranku yang hilang?
****
Dengan langkah terseok-seok dan wajah luka-luka, aku pulang ke rumah. Kuketok pintu berkali-kali. Akhirnya terbuka. Istriku terheran-heran melihat keadaanku yang seperti ini.
“Mas dari mana saja? mengapa luka-luka begini?” kujelaskan dari awal hingga akhir petualangan bodohku di mall tadi. Sambil mengobati luka-lukaku, ia mendengarkan ceritaku dengan cucuran air mata.
“Mas, aku memang menginginkan sepatu itu. tapi mas salah dengar”
“maksudmu?”aku mulai tidak mengerti.
“benar aku mengatakan itu sepatu yang cantik, tapi kalimat selanjutnya bukan ‘kira-kira berapa harganya’, melainkan ‘semoga buah hatiku kelak, jauh lebih berharga dan cantik daripada dia yang sekedar pajangan di balik etalase’. Itulah yang aku ucapkan. Sebuah doa, mas…”
“tapi, tapi, setidaknya aku ingin membahagiakanmu..”aku terbata-bata mengeja alasanku.
“melihatmu tidak kesusahan dan tidak menyusahkanmu, aku sudah sangat bahagia,” sejuk jawaban istriku menenangkan perih luka-luka di sekujur tubuhku.
“jadi…”
Istriku dengan cepat melanjutkan kalimat yang meluncur di lidahku, “itulah sesungguhnya cinta, bukan terpasung banderol harga.” Aku tertegun. Lama sekali.


Yogya-Pati, 10 April 2010

Komentar