Perempuan dalam Foto


Aneh sekali. Benar-benar aneh malam ini. Di tengah-tengah kepungan isu-isu politik, kemiskinan, anak putus sekolah, pejabat korup, dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Di tengah-tengah bencana alam, bencana kelaparan, dan bencana-bencana mengerikan dunia, aku dan kekasihku masih menyempatkan diri berbagi cinta. Kami berbaring di atas sebuah padang rumput hijau yang luas. Kanan-kiri kami bertabur bunga-bunga beraneka ragam. Sementara pepohonan fasih pada bahasa diamnya. Kami berdua sedang bersitatap dalam sinaran rembulan.
Aku tak mampu lagi berkata-kata. Untuk apa? Toh bahasa-bahasa cinta kami sudah terucap lewat degup jantung yang saling beradu.
Dan aku juga bingung. Berjuta cara sudah pernah kulakukan untuk mengungkapkan cintaku padanya. Peluk-cium seakan tak cukup. Puisi-puisi romantis, apalagi. Kata-kata indah hanya akan membatasi gelora hasratku yang tengah berdebur hebat, seiring derak-derak roda waktu. Lalu aku mesti bagaimana lagi? 
Akhirnya aku menyerah pada kekakuanku sendiri. aku hanya bisa berucap lirih, “aku sayang padamu, kekasih”.
Kekasihku berbisik pelan di tepi daun telingaku, “aku juga sayang padamu”. Matanya yang teduh, bibirnya yang mungil dan tipis, dan bau harum tubuhnya, memaksaku menyatukan jiwaku dan jiwanya, tubuhku dan tubuhnya, ke dalam satu lingkaran mistis yang engkau tak akan mengerti maknanya.
Aku pun melayang.
****
Ibuku menatapku dengan mata nanar. Separuh menangis, separuhnya lagi entah. Seperti hendak mengucapkan belas kasihan, tapi bercampur-campur dengan ungkapan lain. Tatapan mata apa itu? tidak biasanya ibu melihatku dengan cara sedemikian rupa. Sudah lupakah ia padaku, anaknya?
Tidak, ia tidak lupa. Ia masih ingat aku ini siapa. Semula ia hanya berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka, kini ia menghampiriku yang tengah berbaring di ranjang. Dielus-elusnya kepalaku seolah aku masih bocah. “anakku…” katanya. Tak dilanjutkannya kata-kata yang masih sepenggal itu. Aku juga tak ambil pusing.  
Sebenarnya aku juga ingin mengucapkan sesuatu pada ibuku. Namun suaraku tercekat di tenggorokan. Kosakata yang sudah susah-susah kukumpulkan semenjak bayi mendadak hilang ditelan kebisuan. Kepedulianku pada ibu juga kurasakan hilang perlahan. Satu-satunya hal yang menarik perhatianku adalah foto seorang perempuan. Foto itu kugenggam erat. Sangat erat hingga nyaris aku tak ingin berpisah dengannya.
Foto siapa aku tak tahu. Yang jelas ia sangat cantik dan aku jatuh cinta padanya. Perempuan itu mengenakan gaun berwarna putih, sedang berdiri di pelaminan sembari memegang seikat bunga. Putih gaunnya senada dengan putih kulitnya. Matanya, oh matanya, bening dan memancarkan ketulusan. Rambutnya tergerai lurus sampai hampir menyentuh pundak.
Otakku berbunyi nyaring, siapa sebenarnya perempuan ini? Namun hatiku berseru tak kalah kencang, persetan dia siapa, tapi kamu cinta dia, kan?. Sejak kapan kamu jatuh cinta? otakku berdenging lagi. Nuranikulah yang menjawab, sejak kapan itu bukan persoalan besar. Cinta tak butuh konsepsi apapun tentang waktu. Tak usah berpikir terlalu mendalam. Sekarang, tidurlah lagi. Besok kamu pasti bisa berjumpa dengannya.
Baiklah, hati nuraniku. Aku ikut apa kata-katamu. Aku akan tidur lagi. Dan kamu, otak. Hei, otak, dengarkan aku. Jangan ganggu nyenyak tidurku. Pergilah barang sebentar. Terserah ke mana pun, asal tidak di sini. Suaramu terlalu berisik di telingaku.
Aku menguap lebar-lebar. Dalam sayup-sayup setengah sadar dan tidur, aku masih melihat dan mendengar ibuku menangis dengan bahu terguncang-guncang. Ssshh, bu. Anakmu ingin bermimpi indah. Tolong matikan lampu, tutup pintu kamarku, lalu bangunkan aku kalau memang sudah waktunya nanti. Ibu tak mendengar. Ia masih sibuk mengucurkan air mata.
***
Kemarilah kekasih, genggam erat tanganku. Kita akan terbang bersama menuju awan. Dari atas gumpalan awan, kita akan bercinta lagi. Kali ini percumbuan hasrat kita harus lebih mesra dan bergairah biar langit meledakkan rasa cemburunya menjadi kilatan cahaya petir yang merontokkan air hujan ke atas tanah.
Kekasihku tersenyum indah sekali dalam kepasrahannya. Kuraih tangannya. Jemari kami bertaut. “kita akan ke mana, sayang?”, tanyanya sambil setengah berbisik.
“kan tadi sudah kubilang, kita akan bercinta di atas awan..” kataku.
“aku tak bisa mendengarnya, sayang. Kamu berbicara dalam hati. Mana tahu aku bahasa kalbu?”
Tak kujawab godaannya. Segera kukeluarkan sayap dari punggungku. Lalu kuangkat dan ku gendong tubuhnya. Tangannya bergayut pada leherku. Ia menggoda lagi, “kenapa sayapmu serupa sayap merpati? Itu terlalu lamban, sayang. Gantilah dengan sayap Boeing atau pesawat ulang-alik supaya kita lekas sampai di atas awan.”
“biarlah lamban. Aku ingin lambatnya waktu membuat mataku tak lekas-lekas beralih dari wajahmu”
Pipinya langsung merona merah karena tersipu malu. Sambil merasakan hangat tubuh kekasihku, aku melesat terbang meninggalkan gravitasi bumi yang terus-menerus menarikku. Sementara itu, secercah pelangi menampakkan dirinya dari manik-manik cipratan air terjun, melengkung seperti membentuk sebuah senyuman. Warna-warni bunga yang kujumpai melambaikan ‘selamat jalan’ lewat gerak-geriknya yang unik.
Duniaku benar-benar indah. Aku tak ingin ke mana-mana lagi. Aku ingin tetap di sini. Selamanya.
***
Akhirnya kami sampai juga di atas awan. Kelokan sungai seperti ular raksasa yang membelah daratan. Pepohonan dan pegunungan nampak seperti hamparan rumput di halaman belakang rumah. Tak ada siapapun di sini. Tenang dan tenteram.
Dalam pangkuanku,  kekasihku sepertinya merasa nyaman. Aku bisa mencium aroma rambutnya yang wangi.
“lihatlah, sayang. Manusia-manusia di bawah sana demikian sibuknya. Mereka riuh karena diri mereka sendiri. kasihan sekali. Kita beruntung diijinkan yang maha kuasa untuk berbulan madu di sini. Kita jadi bebas. Sebebas-bebasnya kebebasan. Hukum-hukum alam telah ditundukkan Nya demi kenyamanan kita..”
Kekasihku masih terdiam. Mungkin menikmati pemandangan. Ia membiarkanku bicara panjang lebar. Maka kulanjutkan saja rayuan demi rayuanku sembari sesekali mengelus-elus rambutnya.
“tahukah kau, sayang…aku berencana membuat rumah mungil yang indah untuk kita berdua di lereng bukit itu. hawanya sejuk, di kanan-kiri pepohonan senantiasa memayungi kita dari terik matahari. Nanti di halaman belakang akan kubuat taman bunga dan kolam ikan. Bukankah kau suka sekali memelihara ikan?”
Ia tak menggubris kata-kataku. Diam saja dari tadi seperti sedang memikirkan sesuatu.
“sayang, bicaralah…jangan kau perlakukan aku demikian rupa…”
Lama ia terdiam. Ia menarik nafas berat.
“sayang, maafkan aku. Aku hanya berpikir, bagaimana jika seandainya aku pergi meninggalkanmu lebih dulu…” kututup bibirnya dengan telunjukku biar ia tak meneruskan kata-katanya.
“ssh…sayang, kau tak akan pergi ke mana-mana. Kita akan terus begini selamanya. Kau dan aku, kelak akan melihat kelahiran anak-cucu, mengamati pertumbuhan mereka, dan mengajak mereka berwisata ke atas awan juga..seperti yang kita lakukan ini..”
“tapi aku sudah berjanji…”
“berjanji apa? Janji pada siapa?” kupotong kata-katanya.
“aku telah membubuhkan persetujuan pada lembar takdir kehidupanku, aku tak bisa bersamamu selamanya..”
“kalau itu berarti meninggal dunia, bisa jadi iya. Tapi sekarang kita berdua masih muda dan sehat jasmani rohani. Jangan terlalu dipikirkan, sebab itu masih lama…”
Ia berdiri dengan gerakan mengejutkan. Ia menatap kedua bola mataku lurus-lurus dan berkata, “sekarang…”
“hah? Apa maksudmu dengan kata ‘sekarang’?”
“sekaranglah saatnya…”
“tidak…”
“kau harus menerimanya…”
“aku tak bisa...aku tak bisa hidup tanpamu..”
“kau harus bisa…”tubuh kekasihku lenyap perlahan-lahan dari hadapanku seperti kabut yang melenyap diterpa sinar matahari. Aku mencoba menariknya, tapi ia bagaikan sinar hologram, tanganku hanya mampu menembus tubuhnya. Sebelum tubuhnya lenyap selamanya, ia masih sempat mengucapkan beberapa patah kata, “aku sayang padamu…”
“jangan pergi…”tubuhku terasa lemas. Persendianku bagai dilolosi satu-persatu dari kerangka tulang. Otot-ototku meluruh. Separuh hatiku sudah pergi kini. Aku tak tahu bagaimana cara menghadapi hidup. Sayap-sayapku meleleh seiring dengan kepergiannya. Aku meluncur deras ke bawah. Kututupkan mata, kupanjatkan rasa nelangsa pada angin yang berdesing kencang di telingaku. Sebentar lagi aku akan menyusulmu, sayang. Tunggulah.
****
Kubuka kedua mataku pelan-pelan. Kurasakan air mata meleleh di pipiku. Sepertinya aku sudah sampai di akhirat. Kuedarkan pandanganku ke kanan dan kiri. Ah, ternyata masih di kamarku sendiri.
Kulihat ibu terisak. Di samping ibu berdiri seorang laki-laki berbaju putih dan membawa tas kopor. Siapa dia?
“otaknya mengalami gangguan yang cukup parah sehingga ia mudah berilusi tentang istrinya. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka masa lalunya. Ikhtiar kami tak akan berguna tanpa dukungan dari keluarga. Begitulah, saya doakan ia cepat sembuh seperti sedia kala”, lelaki itu mengucapkan salam pamit. Ibu hanya menganggukkan kepala lemah dan keluar untuk mengantarkan lelaki itu pulang.
Aku makin bingung dengan apa yang terjadi. Satu-satunya yang kurasakan adalah selembar foto perempuan bergaun putih di genggaman tanganku. Di samping foto perempuan itu ada sesosok lelaki muda yang mirip denganku. Tak kuperhatikan benar sosok lelaki muda itu. Lebih pada tidak peduli sebenarnya.
Kufokuskan pandanganku pada gambar perempuan cantik bergaun putih di atas selembar kertas foto. Rambutnya, bibirnya, dan matanya. Semua serba indah. Kuraba gambar dirinya. Basah? Mataku seakan tak percaya. Dari sudut mata perempuan dalam foto itu muncul air yang meleleh turun seperti sedang menangis. Apakah ini juga ilusi?

Komentar

  1. wong ngak akhsan blas2 Mei 2011 pukul 10.24

    wow ini gaya tulisan yg baru...dibalik rasa haru nya ada gaya komedi kelas tinggi...

    BalasHapus

Posting Komentar