Menyimak Drupadi : Prototipe Gender Alam Ketimuran


Drupadi terlihat tidak tenang. Tanpa sebab yang jelas, pekerjaannya mondar-mandir saja di dalam kamarnya. Jelas, wanita cantik itu merasakan firasat yang tidak baik sejak diundang para Kurawa di kediaman mereka, Astina. Kata mereka, itu undangan pesta rakya besar-besaran.   
Beberapa hari sebelum undangan itu datang, suaminya, Sri Yudhistira, dinobatkan sebagai Rajasuya atau Raja Diraja bergelar Prabu Samiaji yang membawahi seluruh kerajaan di bumi Hindustan. Tentu, para Kurawa tidak terima. Alasannya, Yudhistira ‘hanyalah’ pemimpin negeri kecil, sebuah negeri hadiah dari Astina bernama Indraprasta. Menurut Sengkuni, otak intelektual Kurawa, yang lebih berhak menyandang gelar itu adalah anak-anak Kurawa, sebab negerinya lebih besar dan agung daripada Indraprasta.

Kehendak para Kurawa rupanya bertepuk sebelah tangan. Kenyataan yang ada makin tidak mendukung cita-cita politik mereka. Bagaimana cita-cita itu bisa tercipta, sedangkan pekerjaan mereka berfoya-foya setiap hari tanpa mempedulikan rakyat. Di lain pihak, Yudhistira justru menggiatkan kesejahteraan rakyatnya, meskipun negeri Indraprasta tidak sebesar Astina. Keluhuran pekerti Yudhistira dalam menyejahterakan rakyat Indraprasta memikat simpati para raja dengan sekejap. Terlebih lagi dengan dukungan Sri Kresna yang merupakan titisan Dewa Wisnu, para raja mengakui Yudhistira sebagai raja diraja mereka. Kekuasaan Indraprasta lambat laun meningkat pesat menelan Astina.
Untuk menggulingkan kekuasaan Yudhistira atau Prabu Samiaji, dibutuhkan taktik sangat licik. Menggempur secara langsung, berarti cari mati. Sebab, Yudhistira selalu dikelilingi oleh keempat saudara lelakinya yang terkenal sakti tiada tanding. Oleh karenanya, dalam kesempatan pesta besar-besaran itulah, Kurawa bermaksud melecehkan kehormatan Prabu Samiaji melalui judi dadu.
Awalnya, Prabu Yudhistira diajak bermain judi dadu dengan taruhan awal satu keping emas. Sengkuni yang berotak cerdik, sengaja mengatur dadu itu sedemikian rupa sehingga menuruti kemauannya. Pada permulaan permainan, Yudhistira dibiarkan menang berkali-kali sampai kepingan emas menumpuk sangat banyak. Lambat laun, ganti Sengkuni yang menang. Uang taruhan Yudhistira pun dikuras habis. Sampai-sampai pakaian kebesarannya diletakkan juga di meja judi. Kekalahan beruntun dari Sengkuni membuat Yudhistira bingung. Tak ada lagi yang bisa dipertaruhkan.
“Sudah tak ada lagi yang bisa kau pertaruhkan. Serahkan saja istrimu untuk kami,” kata Sengkuni, diiringi gelak tawa Kurawa bersaudara. Yudhistira dan keempat saudaranya hanya bisa terdiam menerima kekalahan. Tanpa pikir panjang, Dursasana, si anak sulung Kurawa, langsung berlari ke arah kamar Drupadi. Diseretnya Drupadi secara paksa masuk ke balairung istana, tempat mereka berjudi. Lebih kejam lagi, rupanya Dursasana berkeinginan melucuti pakaian yang dikenakan Drupadi di hadapan umum, termasuk di depan suaminya sendiri, Yudhistira.
Sontak, Drupadi berteriak minta tolong. Sayang sekali, tidak ada yang bisa menolong, sekalipun itu suaminya. Peraturan tetaplah peraturan, yang kalah harus menuruti kehendak pemenang. Arjuna, si penengah Pandawa, ksatria ahli memanah, hanya bisa terdiam gemetar menahan amarah yang menggelegak di hati. Bima juga demikian. Ksatria pemberani yang terkenal sangat kuat dan cepat naik darah itu tak kuat menyaksikan adegan saat Dursasana mulai melucuti satu persatu pakaian Drupadi, istri kakaknya. Maka ia memilih untuk memalingkan muka, menjinakkan rasa geram dan jengkel. Akan tetapi ia tidak berdaya apa-apa. Sekali lagi, peraturan tetaplah peraturan.
Rupanya inilah yang dirasakan Drupadi tadi. Firasat tidak enak di hatinya terbukti sekarang. Kehormatannya dilecehkan. Kehormatan suaminya dipermalukan. Lebih jauh lagi, kehormatan Pandawa beserta segenap kerajaan Indraprasta direndahkan. Kain penutup tubuhnya ditarik paksa oleh Dursasana. Namun, ajaib, kain itu seakan-akan tidak ada habisnya. Dursasana terus menerus menarik dan melucuti pakaian Drupadi, tapi pakaian Drupadi seolah berlapis-lapis, hingga Dursasana kelelahan sendiri. Tiada satupun yang tahu jika saat itu Dewa Wisnu turun dari kahyangan untuk menolong Drupadi.
Sebagai ganti atas tubuh Drupadi, Yudhistira dan para Pandawa harus rela melepaskan atribut kerajaannya. Mereka diasingkan selama dua belas tahun ke sebuah rimba belantara untuk menjalani hukuman karena kalah berjudi, sesuai permintaan pemenang. Maka, berangkatlah para Pandawa dengan muka masam menuai malu sekaligus memendam dendam. Terlebih lagi bagi Drupadi, ia bersumpah bahwa seumur hidup tidak akan pernah mengenakan sanggulnya hingga ia keramas dengan darah Dursasana. Alam semesta bergetar, angin bergemuruh, awan-awan mendadak gelap terkena sumpah Drupadi.
Memahami Persoalan Gender dari Perspektif “Timur”
Pengalaman tokoh pewayangan dalam epos Mahabharata di atas menarik untuk dicermati. Bukan sebatas membaca kisah-kisahnya yang imajinatif, tidak membumi, dan kaya pergolakan jiwa para karakternya, tapi juga menemukan pemahaman mengenai persoalan gender. Terutama dari arah yang selama ini kita anggap belum menonjol: perspektif ‘timur’.
Gender berbeda dengan seks. Jika seks dikatakan sebagai “kelamin biologis”, maka gender lebih dekat pada “kelamin sosial”. Ini berarti, tidak sekedar persoalan pembedaan lelaki dan perempuan, tapi juga menyangkut tentang bagaimana peran mereka ketika hidup bermasyarakat.
Khas akar filsafat timur, dua hal berbeda bukanlah kutub yang saling berlawan. Melainkan tercipta untuk saling melengkapi satu sama lain. Begitu pula hubungan antara lelaki dan wanita. Perbedaan sifat keduanya yang merupakan kodrat alam, memang tidak bisa dihindari. Justru dari perbedaan itulah diharapkan lahir kelestarian, keseimbangan antara diri dengan alam sekitar, dan kesempurnaan. Dalam kepercayaan Hindu, misalnya, lelaki dan perempuan digambarkan sebagai lingga dan yoni. Lingga adalah lelaki, yoni perempuan. Lelaki dilukiskan seperti bumi, sedangkan perempuan langitnya. Bumi tidak akan selamat dari ancaman batuan angkasa jika tidak ada langit. Begitu pula langit, tidak bisa berdiri sendiri tanpa ditopang bumi.
Masih dalam tinjauan etika ‘ketimuran’, tidak ada seorang lelakipun yang rela kehormatan perempuannya dilecehkan. Sebaliknya, tidak ada seorang perempuanpun yang merelakan harga diri lelakinya dijatuhkan. Kendati Yudhistira cemburu dan api panas memenuhi rongga dadanya, tapi satu kondisi menyebabkan ia tidak mampu berbuat apa-apa kala Drupadi dipermalukan Kurawa.
Secara tegas, Al-Qur’an yang merupakan produk kebudayaan “Timur” menyumbangkan satu pandangan cemerlang mengenai gender. Dalam surat An-Nisa ayat 1 tertera, “Wahai manusia, bertakwalah pada tuhanmu yang menciptakanmu dari jiwa yang satu..”. Ajaran Taoisme tak kalah menarik, lelaki dan wanita ibarat dua titik kesempurnaan energi semesta. Yin dan Yang, istilahnya. Keduanya tidak boleh saling mengungguli dalam hal kekuatan. Namun, harus diselaraskan, diserasikan, agar keharmonisan tercipta. Di masyarakat Jawa sendiri, berkembang kepercayaan perempuan adalah konco wingking lelaki. Pengertian konco wingking di sini dipahami sebagai kusir dan kudanya. Lelaki sebagai kuda, tidak akan bisa berjalan dengan benar jika tidak dikendalikan sebaik-baiknya oleh perempuan. Perempuan sebagai kusir, juga tak mampu mencapai tujuannya jika tidak ada si kuda. Inti perspektif “timur” adalah, tidak ada perbedaan selain bentuk tubuh dan sifat-sifatnya masing-masing karena tercipta dari jiwa yang satu.




Beda “Parameter” Soal Gender     
Idealisme “timur” memandang gender tentunya bukan tidak mendapat batu sandungan. Salah satunya, ternyata banyak ditemukan ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Setidaknya itulah asumsi pemikiran gaya “barat”. Ada yang kurang tepat kalau tidak mau dikatakan salah dalam pertarungan pandangan ini. Letak “kekurangtepatan” itu, meminjam istilah Emha Ainun Najib, terdapat pada “parameter” atau tolok ukur yang dipakai.
Parameter barat tentunya berbeda dengan timur. Secara historis, orang-orang barat masih memendam luka sejarah akibat aktifitas seksual yang terkekang semasa kejayaan Ratu Victoria. Saat itu, Ratu Victoria menerapkan aturan-aturan tentang bagaimana berhubungan seks, relasi lelaki dan wanita, dan segala hal tentang peran kedua jenis kelamin ini dalam masyarakat. Sesuai logika Antonio Gramsci, setiap represi melahirkan resistensi, ketertekanan memunculkan ketahanan, bisa jadi berupa perlawanan. Revolusi pemikiran di Eropa yang disebut renaissance dan berlanjut dengan aufklarung mendekonstruksi logika klasik Ratu Victoria.
Hingga detik ini, pemikiran barat masih skeptis dan memandang selalu ada persoalan ketidakadilan gender dalam setiap aspek kehidupan masyarakat akibat sejarah tersebut. Lelaki selalu diposisikan sebagai pihak superior, sementara kaum perempuan di posisi inferior. Oleh karenanya, kini harus disejajarkan. Itulah definisi keadilan gender menurut perspektif barat.
Kesalahan menggunakan parameter inilah yang menyebabkan permasalahan. Persoalan gender di “timur” yang lengkap dengan kompleksitas budaya dan nilai-nilai etisnya, tidak bisa dipandang lewat kacamata “barat” yang juga memiliki karakteristiknya sendiri. Ini menyebabkan bias pandangan dan kurang solutif sekaligus minim ide-ide konstruktif. Dikatakan kurang solutif sebab tiap-tiap wilayah punya kekhasan permasalahannya, maka penanganannya pun haruslah sewarna dengan karakter masyarakat yang ada. Ide-ide yang berkembang, karena tidak solutif, menjadi tidak bisa mengkonstruksi arah perubahan yang diinginkan.
Tentu kita masih ingat bagaimana Islam masuk ke nusantara abad 11 M. Islam tidak datang dengan wajah penuh darah dan pedang-pedang di pinggang, melainkan berakulturasi dengan kebudayaan setempat. Persis seperti cara-cara para sembilan wali yang menciptakan wayang atau gamelan sebagai seni berdakwah. Inilah yang menyebabkan islam cepat disukai masyarakat dan menjadi keyakinan baru, menggantikan kepercayaan lama semisal kejawen murni, Hindu,  Buddha, dan sebagainya. Barangkali metode dakwah para wali tersebut mampu menjadi acuan kita untuk membangun gagasan konstruktif maupun solutif seputar permasalahan gender di masyarakat.            

Naskah ini pernah dimuat di buku indie, Miss V dan Tuan Media : Merecoki Feminisme

Komentar