Kado Senja untuk Ann


Aku tidak tahu, apakah yang disebut musibah itu adalah sebuah cobaan atau suratan takdir. Yang jelas, keduanya sudah cukup kurasakan mendera kehidupanku. Juga kehidupan anak gadis semata wayangku. Ann. Merenggut pancaran kebahagiaan di kedua bola mata. Menghapuskan senyuman yang biasa menghiasi bibir. Aku takut ini untuk selamanya. Aku tidak hendak menyalahkan Tuhan. Aku menyalahkan diriku sendiri.

Minggu Pertama
Ann, anakku. Bangunlah, Nak. Bukalah kedua matamu yang senantiasa rapat terpejam itu. Tidakkah kau lihat, ibumu di sini lelah menangisimu setiap saat. Hingga habis air mata ini. Tinggallah isaknya saja.
Semenjak peristiwa kecelakaan yang menimpamu 4 hari lalu, kau divonis koma oleh dokter. Dokter bilang, sulit kemungkinan bagimu sehat secara normal. Kepalamu terbentur sangat keras sehingga merusak sebagian syaraf tubuhmu. Entah syaraf apa namanya, telingaku tidak begitu jelas mendengar karena saat itu pendengaranku penuh oleh luapan suara tangisku sendiri.
Ann, tahukah engkau? Satu-satunya kebahagiaan yang kurasakan adalah kehadiranmu dalam hidupku yang carut marut ini. Jadi, kumohon Ann, bukalah kedua matamu itu.  
Ibu mengaku menyesal dengan memberitahumu bahwa engkau adalah anak yang terlahir dari bibit lelaki yang terlanjur pergi tanpa kabar, hingga tak sempat kau panggil ayah. Tanpa ikatan sakral bernama pernikahan. Tanpa kerelaan dari keluarga. Tanpa pengakuan orang-orang di sekeliling kita.
Tanpa kerelaan dan pengakuan semua orang di sekitarku, Ann, kehidupan ibumu ini seperti burung yang terbang tanpa penglihatan. Menabrak-nabrak bebatuan, karang-karang cadas, terhempas ke sana ke mari. Sebenarnya Aku ingin sekali mati waktu itu. Namun, kerasnya tangisanmu mencegah tangan ibu untuk menjerat leher dengan tali gantungan. Celoteh lidahmu yang masih tanpa dosa itu, seakan-akan memberikan harapan yang baru seperti janji menempati surga.    
Namun, apalah gunanya mengenang masa lalu? Mengenang-ngenang tidak akan membuatmu membuka mata. Malah membuat lubang di hatimu semakin menganga lebar.
“Maafkan Ibu, Ann…” bisikku lirih di samping ranjang yang menopang tubuh tak berdayamu.
Ah, andai waktu bisa kuputar lagi. Andai kau tak bertanya, “Ibu, di mana ayahku? Semua teman-temanku memiliki ayah. Mengapa aku tidak punya? Di mana ia?”,aku pun takkan menceritakan sejarah kelam yang membuatmu  frustasi itu, lalu kau melakukan tindakan bodoh dengan membawa motor berlari sekencang-kencangnya, dan pada akhirnya membawamu ke ruangan serba putih ini. Aku tahu kau sangat terpukul. Kau hendak melampiaskan semuanya dengan melawan derasnya angin jalanan dalam kecepatan maksimal motormu. Berharap semua luka itu bersih tersapu angin. Padahal, kita sama-sama tahu, apapun yang kita lakukan hari ini, takkan pernah bisa mengobati sejarah kehidupan. Benar, kan? Dasar gadis bodoh. Bodoh. Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku.
Minggu Ke Dua
Tak terasa 7 hari telah berlalu. Kau masih saja tidak mau membuka mata, Ann. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membuatmu terbangun.
Aku sering bertanya-tanya di tengah kekhawatiranku, apakah kau sedang bermimpi indah saat ini, hingga kau seakan tak mendengar panggilanku? Jika engkau memang bermimpi, mimpi macam mana yang menghalangi suara-suara seruanku untuk membangunkanmu? Mimpi seperti apakah yang membuatmu tak menghiraukan lagi terbit-tenggelamnya matahari yang terlihat begitu indah dari jendela kamar ini?
Di sisi yang berbeda, aku menduga-duga, jangan-jangan kau tidak bermimpi apa-apa. Kau terlempar ke sebuah tempat yang gelap. Tidak ada warna. Sendirian di sana. Setengah mati ketakutan tanpa seorang pun yang mampu menenangkan, sementara kau duduk takluk pada rasa takut itu sambil memeluk lututmu, berusaha menahan tubuhmu yang gemetaran hebat.
Aku tidak bisa membayangkannya, Ann, andai aku yang mengalaminya. Engkau masih terlalu muda untuk menelan semua pahit itu. Jika sudah demikian, aku hanya mampu memelukmu seeratnya, tak peduli engkau merasakannya atau tidak. Aku ingin berbagi kehangatan denganmu, meski – mungkin saja kau tidak membutuhkannya.
Dan dokter-dokter, perawat-perawat itu, akan menarikku menjauh darimu ketika aku mulai merengkuhmu. Mereka juga akan mengatakan, sebuah ucapan yang bosan kurasakan, “Sabar ya, Bu. Berdoalah untuk keselamatannya. Kami akan berusaha sekuat tenaga”. Hah! Kenyataannya, mereka tak tahu apa-apa! Mereka bisa mengatakan begitu karena nyawamu sekarang, tak ubahnya seperti obyek eksperimen yang biasa mereka utak-atik di laboratorium. Setelah gagal, pasti nanti mereka serahkan semua pada Tuhan. Lantas, berganti mengutak-atik yang lainnya, dan seterusnya. Enak betul.
Tiba-tiba aku merasakan dunia ini mengecil, Ann. Semakin sempit menghimpit rongga dadaku. Alih-alih bergerak, bernafas saja kurasakan susah. Sesulit engkau yang mencoba mengelak dari parang malaikat maut dalam kegelapan atau mimpimu kini. Sesak, Ann.  
Minggu Ke Tiga
Esok adalah hari ulang tahunmu, Ann. Genap sudah usiamu memasuki angka yang ganjil. Tujuh belas tahun. Ya, tujuh belas tahun sudah kau menghirup begitu banyak aroma. Tujuh belas tahun kau bergerak lincah menelusuri dunia yang selalu berputar dalam keteraturannya. Dan selama tujuh belas tahun pula, kau tak tahu, di balik keriangan sikapmu, ternyata tersimpan erat-erat kenyataan yang sebenarnya kau tak perlu tahu. Namun, kini kau tahu. Kau buka sendiri kotak pandoramu. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis.
Jarum jam berdetik, selang infus yang melingkari pergelangan tanganmu masih menitikkan cairan pengganti nutrisi makananmu. Terus-menerus menitik, seperti gerimis yang dipaksa menangis, hanya untuk sekedar membasahi tanah dan rerumputan. Kardiograf di samping ranjangmu, berdenyut-denyut, menandakan jantungmu senantiasa berpacu meskipun terasa lemah.
Aku benar-benar tenggelam dalam nelangsaku sendiri. Seharusnya kau melewati fase transisi menuju keremajaan hidup ini dengan penuh kebahagiaan. Layaknya remaja-remaja lain di belahan bumi manapun mereka berada. Seharusnya kau tak perlu menanyakan di mana ayahmu berada. Dan seharusnya aku tak menjawab pertanyaanmu atau menjawabmu sedusta-dustanya. Aku berkhayal, bila saja ada Tuhan di depanku saat ini, aku pasti akan bersungkur di hadapan Nya, meminta agar kita berdua dilemparkan sekali lagi ke masa lalu, tepat sebelum kau terhempas di jalanan. Aku berjanji, dengan mempertaruhkan nyawaku, aku akan memilih diam dan bungkam, daripada membicarakan kebenaran, yang akibatnya aku harus menyaksikan keadaanmu sekarang.
Aku menghela nafas.   
Kupegang tangan kananmu. Dingin. Aku sangat khawatir, tapi tak ingin berprasangka lagi. Mungkin pengaruh pendingin ruangan. Kuusap lembut kulit punggung tanganmu. Kupertautkan jarimu dengan jariku. Mencoba mengalirkan separuh energi kehidupanku padamu supaya kau mau membuka mata. Gagal, tentu saja, karena aku bukan pandhita, ahli metafisika, atau resi. Aku ‘cuma’ seorang raseksi yang mencemaskan putri semata wayangnya.
Kurapikan helai-helai rambut lurusmu yang kini kusut masai. Sudah lama tak disisir. Padahal, kau terlihat cantik sekali dengan rambut lurus itu. Sembari menyisir rambutmu, aku mulai berpikir, kiranya hadiah apa yang hendak kuberikan untuk menyambut ulang tahunmu?
Aku berpikir keras, sampai tak menyadari kehadiran suster yang hendak memeriksa kondisimu. Mungkin saja ia memiliki saran bagus.
“Ehm, Suster…”
Ia menoleh sebentar, lalu meneruskan pemeriksaan. “Ya?”
“Dia…” aku bertanya tanpa ekspresi. “…besok berulang tahun ke tujuh belas. Kira-kira hadiah apa yang pantas diterimanya? Saya bingung sekali. Apa suster punya saran untuk saya?”
Suster terlihat seperti tersenyum, lalu menjawab spontan, “Apa anda benar-benar ingin tahu apa hadiah terbaik untuknya?”
Aku menjawab dengan anggukan. Sambil tetap tersenyum, Ia berbisik di telingaku, “Kesembuhan dan kesehatan seperti sedia kala. Itulah kado terindah baginya. Maaf saya harus melanjutkan tugas. Permisi.”
Seiring berlalunya suster tadi, aku menjadi kian terbingung-bingung. Bagaimana caranya membuatmu sembuh dan sehat seperti sedia kala? Entah berapa lama aku duduk kebingungan dan menatap langit-langit kamar, hingga tak terasa aku pun tertidur dengan kepala terkulai di sampingmu.
***
“Bu?” lamat-lamat terdengar suara lemah Ann. Lirih sekali hingga kukira hanya mimpi.
“Ann?”masih setengah sadar, aku berusaha memastikan. Ternyata aku tidak bermimpi. Itu benar-benar suara Ann. Ia telah sadar. Tak terasa, air mata haru meleleh di kedua pipiku. Segera aku bangkit hendak memanggil suster, dokter, atau siapapun yang sedang berjaga di luar sana. Tapi, Ann merengkuh lengan bajuku. Ia menggeleng perlahan. Aku mengerti. Kudekati lagi ranjangnya, kucium keningnya.
“Selamat ulang tahun, Nak…”ucapku sambil bergetar. Ann pun tak kuasa menahan derai air matanya. Ia terisak meski tanpa suara. Sementara jarum jam tepat menunjukkan pukul 00:00, dan aku orang yang pertama kali memberinya ucapan selamat ulang tahun.
Kupeluk ia. Sedangkan Ann, tiba-tiba usianya serasa kembali sepuluh tahun silam, ketika ia masih sering bersembunyi dalam dekapanku. “Maafkan Ann, Ibu..”, ucapnya terbata-bata di sela-sela tangisnya.
Aku teringat niatku semula untuk memberinya hadiah ulang tahun paling tak terlupakan.
Bulan ke Tiga
Kesehatan Ann berangsur membaik, meskipun didera kelumpuhan. Maka aku berusaha menepati janjiku dulu.
Dengan kursi roda, aku membawanya ke tempat kenanganku bersama seorang lelaki yang tak sempat dipanggilnya ayah. Sebuah tempat  di daerah lereng gunung. Tempat yang lebih tepat jika disebut bukit. Letaknya agak jauh, kira-kira setengah jam perjalanan dari sini. Bukit itu cantik sekali. Diselimuti hijau rerumputan segar dengan aneka bunga-bunga. Tepat di puncaknya berdiri kokoh sebatang pohon besar berusia puluhan tahun yang rindang. Dari bawah keteduhan pohon itu, seseorang bisa melayangkan pandangannya ke semua arah yang ia inginkan. Dan yang lebih menakjubkan, ketika mampu melihat sosok matahari yang terbit dan tenggelam di sana. Warna matahari selalu keemasan, sementara di sekujur lingkarnya, garis-garis jingga yang tegas, semakin menambah rasa tak terlukiskan di hati. Burung-burung pulang ke rumahnya, mengepak-ngepakkan sayapnya yang terlihat kecil dari bawah sini sambil bernyanyi. Awan-awan menari. Bumi khidmat mendengarkan.
“Ann, inilah kado ibu untukmu…”
Di sudut mataku, kulihat mata Ann berkaca-kaca. Antara takjub, juga bergetar menahan haru menerima hadiah semegah ini. Sebuah senja. Senja yang benar-benar senja. Bukan lukisan senja atau kisah apapun tentang senja.
Kudorong kursi rodanya terus mendekat ke pepohonan. Kuperlihatkan pahatan cinta yang masih membekas di batangnya. Ada lingkaran berbentuk hati. Di sebelah kanan, kiri, dan bagian bawahnya terdapat nama-nama. Namaku. Nama lelaki yang tak sempat dipanggil Ayah oleh Ann. Juga ada nama Ann. Tertera begitu jelas. Seperti ingatan yang takkan terbenam begitu saja, walau berulang kali dibutakan senja. Tak sadar, air mataku kembali menetes. Nampaknya Ann juga. Kulihat bahunya terguncang-guncang, menahan sebuah perasaan yang sulit diterjemahkan.

Taman Modena, 23 Agustus 2010, 12 Ramadhan 1431 H

Komentar