Berkaca dari Sastra


Di era kita yang populer dengan nama era moderen, banyak penyakit menyerang keharmonisan hidup manusia. Penyakit-penyakit ini bersumber dari virus antah berantah, tak jelas datangnya dari mana dan tiba-tiba menyergap ketenangan kita. Max Horkheimer mengatakan, salah satu penyakit manusia moderen adalah crisis of art and culture[i]. Krisis atau miskin nalar-nalar seni dan budaya Mengapa demikian? Horkheimer mendiagnosis, penyakit ini muncul karena manusia terlalu mendewakan akal dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.

Memang benar kalau dikatakan ilmu pengetahuan yang bersumber dari olah akal telah menjawab beragam hal di dunia ini. Berkat potensi ilmu pengetahuan pula para ilmuwan  macam Newton hingga Einstein sukses besar dalam menjelantrahkan isi dunia, mencacah-cacahnya, dan kemudian mengkotak-kotakkannya menjadi data kuantitatif tertentu lengkap dengan rumusan-rumusan maupun formula-formula njelimet oriented. Agaknya kita harus banyak berterimakasih pada orang-orang berjasa ini.
Namun, jangan lupa jika ilmu pengetahuan hanya mampu menyelesaikan masalah-masalah empirik. Selebihnya, tak lebih dari sekedar main prediksi saja melalui beberapa metode interpretasi. Dalam diri manusia yang fleksibel itu, banyak hal tak terinterpretasikan dengan metodologi apapun. Ambillah sebuah contoh, perasaan manusia. Mampukah ilmu pengetahuan mengkotak-kotakkannya ke dalam formula-formula tertentu? Tidak, tentu saja. Dan maaf-maaf saja, sementara ini ilmu psikologi yang diklaim mampu membuka selubung-selubung misterius manusia pun tak lebih dari sekedar kegiatan “membaca yang nampak”, tetapi belum mampu membaca yang “tak nampak”[ii].
Manusia itu unik dan ajaib. Susunan kromosomnya saja adalah hasil fusi genetika bapak-ibunya, kakek-nenek, hingga buyut-buyutnya sehingga bermacam-macam pula watak dan sifat yang ia miliki. Dalam sastra, keunikan dan keajaiban diri manusia mendapat ruangnya. Perilaku, watak, dan gaya hidup manusia tergambarkan dengan jelas lewat sentuhan gaya bahasa sastra yang imajinatif dan bebas, sebebas diri manusia dengan segenap keluwesannya.
Sayangnya, hal-hal yang demikian luput dari perhatian kita. Kita lebih suka membaca koran atau melihat televisi untuk membaca kondisi masyarakat terkini daripada sastra. Dengan ungkapan berbeda, Cak Nun mengeluhkan, “Seni sastra relatif tidak tercantumkan dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat : shampo, kitek kuku, busi motor, T-Shirt, atau obat penyemprot nyamuk, jelas lebih dianggap penting dibanding karya sastra[iii]. Salah seorang teman mengatakan, sastra itu tidak konkrit alias abstrak, penuh dengan ungkapan melangit dan kurang membumi.
Tuduhan se-melangit-melangitnya dan se-abstrak apapun sebuah karya sastra, ia tidak lahir dari rahim rasio murni belaka seperti ilmu sains. Ia adalah hasil konstruksi cipta, rasa, dan karsa manusia. Dan manusia sendiri adalah bagian dari struktur masyarakat yang tak pernah bisa terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya. Bahkan ternyata sains juga tak bisa seobyektif yang diteriakkan. Secara ekstrim, Michel Foucoult menuding kalau pengetahuan dan kekuasaan ternyata saling terkait satu sama lain[iv].
Banyak contoh-contoh sastra yang bisa menjadi cermin kehidupan jika sejenak kita mengesampingkan media massa. Kita bisa belajar sejarah jurnalis pertama Indonesia dari roman sejarah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer[v]. Di situ Pram mengisahkan sekelumit liku-liku kehidupan Raden Tirto Adi Suryo sang pelopor pers pertama di Indonesia dalam melawan kolonialisasi Belanda. Gaya bahasa Pram yang meledak-ledak dan tanpa ampun secara implisit terkandung semangat perlawanan terhadap penguasa saat itu (rezim orde baru).
Sastra tidak hanya terbatas dalam kerangka novel atau roman saja. kita pun masih bisa melirik banyak hal dari sastra dalam bentuknya yang lain, puisi misalnya. Dalam hal ini, saya sengaja menghadirkan puisi Mustofa Bisri karena memiliki latar belakang yang akrab dengan kondisi kita hari ini. Seperti kita ketahui bersama, kondisi Indonesia sedang tidak sehat terutama iklim politiknya yang tidak jelas, pejabat negara banyak korupsi, dan hanya turun “merakyat” ketika masa kampanye saja. Dalam iklim Indonesia yang serba berantakan inilah Mustofa Bisri mencoba menularkan daya kritis masyarakat agar tidak manut-manut saja ketika hak-hakny “diperkosa” kaum penguasa.
Menariknya, puisi Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus mampu merangsang benak pembacanya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dengan “pertanyaan-pertanyaan sederhana” meskipun saat ini tak ada gejolak yang berarti (setidaknya itulah yang diberitakan media massa, bandingkan saja dengan saat runtuhnya rezim orde baru). Sajak ‘Kau ini Bagaimana Atawa Aku Harus Bagaimana’ adalah pertanyaan-pertanyaan bernada kritik yang diwarnai dengan bahasa-bahasa ironis dan paradoksal[vi]. Kau ini bagaimana atawa aku harus bagaimana…… Aku harus bagaimana ?/ Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku/ Sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu/ Kau bilang kau selalu memikirkanku/Aku sapa saja kau merasa terganggu/Kau ini bagaimana?
Begitulah. Namun, sangat disayangkan kalau kita (terutama kaum akademisi) masih melihat sebelah mata pada nilai guna sastra. Paling-paling yang “mengutak-atik” hanyalah mahasiswa jurusan ilmu sastra. Media massa sendiri sebagai ruang publik masih menempatkan sastra di halaman belakang. Itu juga dengan syarat masih ada kolom yang sedang kosong dan belum ada tulisan lain. Jadilah sastra menjadi penambal halaman kosong koran-koran, sindir Acep Zamzam Noor. Sementara itu di televisi malah tidak tersentuh sama sekali kecuali kalau ada sastrawan, penyair, atau penulis sastra meninggal dunia. Kemudian diberitakan secara besar-besaran dan “cukup” dikalungi bunga tanda jasa pada nisannya. Dan benarlah adagium lama, penulis telah mati.


[i] Listiyono Santoso,dkk, “Epistemologi Kiri” 2007,hal.94
[ii] K.Bertens,Filsafat Barat Kontemporer.2002.hal.162-172. Pemikiran filosofis Martin Heidegger periode pertama dan periode ke dua.
[iii] Emha Ainun Najib, Terus Mencoba Budaya Tanding,1995,hal.49
[iv] St Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi,2006, hal.1. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’ (Michel Foucoult)
[v] Baca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca),2006, Penerbit Lentera Dipantara
[vi] Baca Ken Sawitri, Album Sajak-Sajak A.Mustofa Bisri,2008,hal. 47-49

Komentar