Buat yang optimis, mungkin patah hati terdengar sama dengan ungkapan
patah tumbuh hilang berganti. Buat yang pesimis, patah hati berarti akhir dari
segala kisah dan sunyi lagi. Buat sebagian lagi, patah hati adalah momentum untuk menghasilkan karya-karya masterpiece. Nah, Sampean pilih yang mana?
Apapun pilihannya, sampean tidak sendirian karena di
Indonesia sendiri banyak makhluk hidup yang setengah mampus merayakan hilangnya
kekasih mereka dari genggaman tangan. Dan tentu saja jika bicara di konteks
Indonesia, kesedihan pun bisa ditertawakan. Bahkan bisa dibuat goyang. Tanya sana
sama penggemar dangdut kalau tidak percaya.
Sampean jangan tanya sama saya, karena saya pernah bernasib
seperti itu. Bukannya kepingin curhat, meski sedikit banyak di postingan ini
ada unsur curhat-nya. Tapi, dulu, seingat saya, saat patah hati, saya menolak
keras untuk membaca status-statusnya Mario Teguh. Serius. Bukannya saya benci
sama Pak Em Te, tapi kalimat motivasinya yang katanya sanggup mempengaruhi
banyak anak muda, ternyata belum cukup kuat untuk menggelitik kesadaran saya. Terlalu
banal, mungkin. Saya lebih memilih membaca sajak-sajak.
Karena bagi saya, patah hati itu tidak cukup diobati oleh
kata-kata sejuk seperti bualan para motivator, tetapi butuh semacam katalisator
untuk membuatnya bisa memaknai episode kehidupan yang digariskan Tuhan. Barangkali
kesannya alay, tidak nyambung, tapi siapa peduli. Namanya juga perasaan…
Dan oleh sebab itu, saya berterima kasih buat salah seorang
teman yang “menghadiahi” sajak patah hati-nya Pablo Neruda yang berjudul “Tonight
I Can Write.” Plus, saya juga sangat matur sembah nuwun atas terjemahannya yang
luar binasa itu.
Akhirul Kalaam, ini dia sajaknya yang memilukan itu. Selamat menikmati dan seperti
kata Chairil Anwar, mampus kau dikoyak-koyak sepi! :
Tonight I Can Write
Tonight I can write
the saddest lines.
Write for examples, “The
night is starry
and the stars are blue
and shiver in the distance.”
The night wind
revolvesin the sky and sings.
Tonight I can write
the saddest lines.
I loved her, and
sometimes she loved me too.
Through nights like
this one I held her in my arms.
I kissed her again and
again under the endless sky.
She loved me, and
sometimes I loved her too.
How could I not have
loved her great still eyes.
Tonight I can write
the saddest lines.
To think that I do not
have her. To feel that I have lost her.
To hear the immense
night, still more immense without her.
And the verse falls to
the souls like dew to the pasture.
What does it matter
that my love could not keep her.
The night is starry
and she is not with me.
This is all. In the
distance someone is singing. In the distance.
My soul is not
satisfied that it has lost her.
My sight tries to find
her as though to bring her closer
My heart looks for
her, and she is not with me.
The same night
whitening the same trees.
We, of that time, are
no longer the same.
I no longer love her,
that’s for certain, but how I loved her.
My voice tried to find
the wind to touch her hearing.
Another’s. She will be
another’s. As she was before my kisses.
Her voice, her bright
body. Her infinite eyes.
I am no longer in love
with her, that’s certain, but maybe I love her.
Love is so short,
forgetting is so long.
Because through nights
like this one I held her in my arms
my soul is not
satisfied that it has lost her.
Through this be the
last pain she makes me suffer
and these the last
verses that I write for her.
Begini terjemahannya…
Malam Ini Aku Dapat
Menulis
Malam ini, aku dapat
menulis baris paling sedih.
Menulis, misalnya, “malam
penuh bintang
dan bintang-bintang
membiru dan menggigil di kejauhan.”
Angin malam bernyanyi
dan berputar di langit.
Malam ini aku dapat
menulis baris paling sedih.
Aku mencintainya, dan
kadang ia mencintaiku.
Sepanjang malam
seperti ini aku memeluknya.
Aku menciumnya
berulang-ulang di bawah langit tak berujung.
Ia mencintaiku, dan
kadang aku mencintainya.
Bagaimana bisa aku
tidak mencintai mata indahnya
Malam ini, aku dapat
menulis baris paling sedih.
Untuk berpikir bahwa
aku tak memilikinya. Untuk merasakan bahwa aku
sudah kehilangannya.
Untuk mendengar malam
yang tak terukur, lebih tak terukur tanpanya.
Dan sajak jatuh pada
jiwa seperti embun jatuh pada rumput.
Apa berarti cintaku
tak bisa menjaganya.
Malam penuh bintang
dan dia tak bersamaku.
Ini semua. Dari kejauhan
seseorang bernyanyi. Di kejauhan.
Jiwaku tak senang
telah kehilangannya.
Pandanganku mencarinya
seolah untuk membawanya makin dekat
Hatiku mencarinya, dan
dia tak bersamaku.
Malam yang sama
memutihkan pohon yang sama.
Kita, waktu itu, tak
lagi yang sama.
Aku tak lagi
mencintainya, itu pasti, tapi bagaimana aku mencintainya.
Suaraku mencoba
menemukan angin untuk menyentuh telinganya.
Milik yang lain. Dia akan
jadi milik yang lain. Sebagaimana ia sebelum kucium.
Suaranya, tubuh
cemerlangnya. Mata lebarnya.
Aku tak lagi
mencintainya, itu pasti, tapi barangkali aku mencintainya.
Cinta sangat singkat,
melupakannya begitu lama.
Sebab, melewati malam
seperti ini aku memeluknya
Jiwaku tak senang telah
kehilangannya
Meskipun ini menjadi
luka terakhir ia buat aku menderita
dan inilah sajak
terakhir yang kutulis untuknya*NB: Saya sediakan juga link-nya..formatnya sih .djvu. aplikasi readernya banyak di mbah google., ketik aja keyword: djvu reader..Klik untuk baca Twenty Love Poems and Songs of Despairs
Komentar
Posting Komentar