Warga Surabaya kini seringkali tidak menyadari bahwa sungai Kalimas
adalah darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Kalimas mungkin hanyalah sungai
yang keruh, kotor, dan pernah menjadi tempat pemukiman liar. Namun, di balik
wajahnya yang suram itu, sebenarnya Kalimas kaya akan permasalahan sosial.
Pada abad 18 dan 19, hanya golongan tertentu yang menjadi
penghuni daerah Kalimas. Berkat kebijakan pemerintahan kolonial tentang
pembagian wilayah hunian, hanya warga keturunan Tionghoa dan Belanda sajalah
yang berhak mendiami ruang-ruang sekitar Kalimas. Sementara pribumi yang terdiri
dari orang-orang Jawa dan Madura mau tidak mau tersingkir dari sana. Padahal,
Kalimas adalah situs perdagangan dengan ratusan pabrik dan gudang. Otomatis,
kemiskinan pun melekat pada diri kaum pribumi.
Memasuki periode pasca kemerdekaan, potret Kalimas semakin
muram. Kesejahteraan sosial yang dicanangkan pemerintah rupanya tidak merata.
Buktinya, gubuk-gubuk liar dan pemukiman semi-permanen mulai menjamur di kota,
terutama sepanjang bantaran Kalimas. Sudah tentu hal ini mengundang
permasalahan sosial baru yang semakin kompleks.
Surabaya yang demikian, disindir oleh orang-orang Belanda
dulu, seperti ditulis sejarawan Purnawan Basundoro (2009): Surabaia van buiten blink, van binen sting. Maksudnya, keindahan
Surabaya hanyalah pada permukaannya saja, tetapi di baliknya masih banyak
terdapat lingkungan yang kumuh.
Perlahan tapi pasti, keberadaan bangunan-bangunan liar di
pinggiran Kalimas mulai diratakan dengan tanah. Tidak hanya itu, sampah-sampah
yang menggenanginya dibersihkan. Bila kita mampir di kawasan Jembatan Merah,
kedua mata terasa lebih lega saat memandang sungai bersejarah ini.
Langkah ini bisa diduga sebagai upaya Surabaya untuk
berbenah diri. Tidak sekedar memanfaatkan
momen penertiban saja, tetapi lebih dari itu. Boleh jadi Surabaya ingin kembali
memakmurkan Kalimas sebagai salah satu kawasan ekonominya yang pernah sukses
sebagai lahan basah perdagangan di era kolonial tanpa harus menyingkirkan kelas
sosial tertentu.
Sampai pada 2015 nanti, Surabaya punya ambisi ingin menjadi
kota jasa dan perdagangan yang cerdas, manusiawi, bermartabat, dan berwawasan
lingkungan. Sampai detik ini, nampaknya visi tersebut mulai dikerjakan
perlahan-lahan. Mulai dari pengadaan taman-taman kota yang rindang dan
berfasilitas wifi gratis seperti Taman Bungkul, sampai pembersihan sungai
Kalimas.
Jika hajatan besar ini terwujud, Surabaya tidak hanya
menjadi kiblat perekonomian yang pesat, tetapi juga mampu berdandan cantik
dengan lingkungannya yang bersih dan teduh. Sekaligus menepuk dada karena
berhasil menjinakkan problem Kalimas, suatu prestasi tersendiri yang bahkan
belum pernah dicapai oleh Jakarta, yang sama-sama dilewati oleh sungai-sungai.
Saingi Venesia?
Di masa mendatang, tidak mustahil kita akan melihat riuhnya
transportasi air membelah badan sungai, mengantarkan warga atau turisnya ke
pusat-pusat perbelanjaan kota atau sekedar mampir di taman-taman kota yang
lokasinya di pinggir Kalimas, seperti Taman Prestasi, dan kawasan strategis
lainnya yang terhubung oleh Kalimas.
Tidak mustahil juga kawasan sekitar Kalimas kemudian disulap
menjadi tempat khusus pejalan kaki, di mana polusi kendaraan bermotor tidak
diperkenankan masuk. Tempat itu kemudian mampu menengahi antara padatnya lalu
lintas perekonomian yang dialami warga Surabaya dengan kebutuhannya akan
bersantai melepas penat.
Menciptakan ruang baru, berarti memungkinkan juga terbukanya
lahan rezeki baru. Para pedagang kecil menengah bisa membuka warung-warung,
kafe-kafe, atau tempat-tempat duduk nyaman yang teramat langka dijumpai di sebuah
kota metropolitan.
Sekilas bayangan Surabaya yang seperti itu mirip dengan
Venesia, sebuah ‘kota air’ termasyhur di Italia. Venesia tak memandang sungai
sebagai satuan debit air tertentu yang melewati bangunan-bangunan rumah di
sana, tetapi juga jantung kehidupan mereka: jalur transportasi, turisme, sampai identitas kota.
Surabaya memang masih terlalu jauh dengan Venesia. Kalimas
masih dilihat sebagai problem lingkungan yang memberi dampak sosial kepada
warganya. Kalimas masih membutuhkan napas panjang untuk mampu menyamai kota air
itu. Bagi yang optimis, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Kalimas menjadi
salah satu kebanggaan Surabaya.
Bolehlah Surabaya memiliki impian jangka panjang seindah
visinya: menata perekonomian dan menata lingkungan. Namun, setidaknya Surabaya
harus realistis. Terutama terkait soal anggaran yang harus digelontorkan dari
laci pemerintah. Sebab, sejauh ini hanya kota-kota di negara maju saja seperti
Singapura, yang mampu menyelaraskan kondisi sosial ekonominya dengan tata ruang
ramah lingkungan.
Oleh karenanya, kata Ali Sadikin seperti ditulis Marco
Kusumawijaya saat melihat lanskap Jakarta, jangan sampai problem seperti ini
diselesaikan secara administratif saja, tetapi tidak tahu apa yang benar-benar
dibutuhkan. Penataan kota bukan sekedar ajang politik cari muka, maka urban management dalam urban good government lebih ditekankan.
Komentar
Posting Komentar